Sekedar Catatan Kecil tentang Berumahtangga

Posted on September 7, 2014

2


imagesSelama 9 tahun menikah, semakin lama saya menyadari bahwa setiap peristiwa ada hikmahnya. Saya akhirnya tahu kenapa dulu harus melewati beragam ujian, kenapa dulu tidak jadi dengan si A, si B, si C, dan malah justru jadinya dengan suami yang sekarang ini. Ternyata memang setiap hal ada timbangannya, ada penyeimbang. Kalau belum seimbang, pasti ada saja penyebab untuk berpisah. Hal kecil saja bisa jadi alasan teramat besar untuk bubar. Sementara kalau sudah seimbang, hal besar justru nampak kecil, karena dijalani dan dihadapi bersama.

Berumahtangga itu tidak gampang. Lebih mudah pacaran memang, karena tidak harus menanggung konsekuensi apapun. Tidak ada resiko membesarkan dan mendidik anak. Tidak ada keharusan untuk menjaga diri dari godaan pihak lain. Tidak ada kewajiban saling merawat cinta. Dan lain-lain.

Intinya, berumahtangga memang membutuhkan kerja yang lebih keras, upaya untuk saling memahami dan menerima, lalu berupaya bersama untuk membuatnya langgeng. Kalau hanya satu pihak yang diminta berubah, tentu tidak bisa. Masing-masing harus mampu melihat dari perspektif pasangannya. Dan itu, tidak mungkin langsung bisa hanya dalam jangka waktu setahun dua tahun. Ada yang sudah menikah belasan tahun pun, kadang masih tak mengerti dengan beberapa sisi dari pasangannya.

Suami saya pernah berkata dulu, bahwa cinta itu bukan sekedar KATA BENDA; yang bisa diminta, diperoleh, diubah, diambil, dirampas, dijual, ditukar, atau dikembalikan bila tidak cocok sedikit saja. Cinta itu juga KATA KERJA, yang keberadaannya harus diupayakan. Baru ada jika diusahakan ada. Ibarat benih, baru bisa bersemi dan tumbuh menjadi pohon yang kuat dan rindang, hanya jika ditanam dan dirawat. Memang sih, ada juga benih yang tumbuh kuat begitu saja. Tapi itu lebih banyak karena faktor kebetulan. Mayoritas dalam kenyataan, kitalah yang harus merawatnya, baru bisa memanen hasilnya. Cinta itu tidak gratis.

Saya tentu setuju dengan cara pandangnya. Namun demikian, sekalipun sudah punya perspektif sama, tetap saja kami menghadapi banyak ujian. Mulai dari urusan beda budaya, beda kebiasaan, beda pendapat, sampai menghadapi masa sulit ketika saya mendapat Baby Blues sampai enam bulan lebih. Itu berat. Bayangkan, dengan bayi yang membutuhkan perhatian penuh, tidak ada yang membantu, tidak ada saudara atau keluarga yang menemani, saya masih harus menanggung depresi berat gara-gara hormon kacau. Sering ketakutan, sering menangis tanpa sebab. Pokoknya berat. Ditambah lagi jahitan sesar masih belum pulih.

Itu sebabnya, mengapa saya sangat menghargai suami. Sebab di saat seberat itu, dia yang selalu ada dan menjaga. Sampai minta cuti, membantu mengurus anak, membelikan makanan, membersihkan rumah, mengantar ke dokter, dan bela-belain memindahkan tempat tidur ke lantai bawah supaya saya tidak perlu naik turun tangga. Seandainya dulu saya menikah dengan si A, si B, atau si C, mungkin kehidupan saya tidak akan sebaik ini. Mungkin belum sebulan saya sudah cerai, atau mungkin sudah ditinggal kabur begitu saja.

Beberapa teman mengalami ujian yang lebih berat. Tidak akan saya ceritakan di sini, cukup sekedar menggambarkan bahwa berulangkali keadaan mereka ibarat telur di ujung tanduk. Begitu pun, mereka tetap berusaha dengan segala kemampuannya, untuk membuat biduk rumahtangga tetap berlayar. Dari mereka saya belajar banyak, bahwa tidak ada rumahtangga yang sempurna. Yang namanya sakinah mawaddah warohmah, bukan berarti 100% lancar jaya dan bahagia terus tanpa ada cobaan apapun. Untuk bisa mencapai kondisi sakinah, perlu perjuangan tersendiri. Bahkan pasangan yang sudah dipilih dari yang bibit-bobot-bebet terbaik pun, masih ada kemungkinan untuk tersandung.

Tapi sayangnya, ini yang tidak banyak disadari. Kebanyakan orang mengira, dengan memilih pasangan terbaik, sudah otomatis rumahtangga akan indah tanpa halangan. Padahal dalam kenyataannya, tidaklah demikian. Rumahtangga yang tanpa cela, itu hanya ada dalam dongeng Cinderella. Dongeng pengantar tidur yang sudah saatnya direkonstruksi.