Catatan 2: Are You an American?

Posted on Desember 2, 2012

6


immigrationBandara adalah tempat di mana kita bisa melihat miniatur masyarakat di sebuah negara, tidak terkecuali bandara O’Hare – Chicago. Terutama jika kita mendapat jalur penerbangan yang unik. Gambaran Amerika sebagai sebuah negara multikultur bisa dengan sangat jelas terlihat.

Kali ini, berada di bandara O’Hare, seolah-olah aku tidak sedang berada di sebuah negara berbahasa resmi Inggris. Sewaktu antri masuk gate, boleh dibilang 90% penumpang yang antri adalah ras Mongolian. Hanya ada segelintir penumpang ras Kaukasian. Mereka antri dengan tertib sambil mengobrol satu sama lain dalam bahasa Cina. Sesekali aku bertukar senyum dengan mereka, dan kalimat pertama yang keluar adalah, “You speak Mandarin?” atau ,”You from Hongkong too?“. Lalu disambung dengan anggukan kepala dan senyum jika aku menjawab tidak.

Sesekali para petugas mendapat kesulitan saat berusaha menjelaskan prosedur kepada beberapa penumpang yang sama sekali tidak paham bahasa Inggris. Seorang pria tua berkursi roda dengan perawatnya yang rupanya juga tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali, kebingungan mendengar penjelasan sang petugas. Lalu petugas itu memanggil seorang penumpang yang tampaknya mahasiswa, “Hey, do you speak English?

Si pemuda itu menjawab gagap, “Nn… not really.” Tapi dia tetap maju untuk membantu si petugas.

Lalu berulanglah adegan di mana petugas itu berusaha menjelaskan sekali lagi pada pria tua tersebut dengan disertai gerakan isyarat tangan, dengan dibantu oleh si pemuda yang berusaha menerjemahkan maksud si petugas dalam bahasa Mandarin.

Di ruang tunggu, sudah berjubel penumpang flight pertama tujuan India. Ruang tunggu tersebut berubah nuansa, seolah-olah sebuah ruang tunggu bandara di India. Para penumpangnya banyak yang berbusana tradisional, dengan garis wajah khas, dan bahasa India. Nyaris tidak ada yang berbicara dalam bahasa Inggris, kecuali segelintir dan beberapa penumpang ras Kaukasian.

Sementara di sudut lain, aku melihat penjaga kios snack yang berwajah khas Latino berbicara patah-patah dalam bahasa Inggris, cukup untuk membuat pembeli mengerti tentang harga segelas kopi atau sebungkus sandwich yang mereka beli.

Amerika, sering disebut orang sebagai sebuah melting pot, tempat di mana semua unsur budaya yang berbeda bercampur menjadi satu. Namun sebenarnya, menurutku, istilah yang tepat adalah seperti mangkuk berisi permen warna-warni. Tiap kultur masih bisa dilihat dengan jelas, dan dapat dicicipi setiap unsurnya yang masih murni.

Tidak semua imigran dapat melebur dalam masyarakat setempat, bahkan mereka yang menguasai bahasa Inggris sekalipun. Tiap unsur etnis biasanya punya jaringan komunitas yang kental. Komunitas orang Thai, India, Bangladesh, Indonesia, Vietnam, Arab, Cina…. nyaris semuanya ada. Jaringan itu berfungsi sebagai tempat “mengungsi” untuk melepaskan diri sejenak dari budaya “berbahasa Inggris” yang mereka jalani sehari-hari. Bagi imigran yang tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali, kehadiran komunitas tersebut adalah penyelamat yang bisa membantu untuk dapat tetap survive di negara ini. Komunitas umumnya menyediakan akses, tidak saja dalam soal bahasa, namun juga kebutuhan lain seperti makanan, baju khas, pekerjaan, atau informasi bantuan hukum.

Generasi imigran pertama umumnya terbilang rigid. Mereka masih menggunakan bahasa asal dengan intensitas cukup tinggi, dan proses melebur tidak sepenuhnya dapat mereka jalani.Keterikatan dengan komunitas juga sangat kuat. Mereka bergaul dan berkomunikasi, lebih sering dengan orang dari komunitas yang sama.

Generasi ke dua biasanya menanggung “tanggungjawab” untuk tetap melestarikan budaya asal orangtuanya, sekaligus menjadi seorang “American“. Generasi ini yang rentan terkena sindrom dua budaya, kebingungan identitas diri, apakah akan sepenuhnya mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang Amerika atau seorang Cina, misalnya.

Kita bisa mengenali sindrom ini dengan melihat bagaimana mereka menjawab pertanyaan,”Are you an American?” Mereka yang masih memegang kultur dengan kuat, akan menjawab, “I was born here, but my father was from…. my mother was from… I was American, because I was born here… because I have American passport...”

Barulah pada generasi ketiga, umumnya mereka sudah lebih santai dan bisa lepas dari keharusan menjaga kesinambungan kultur. Namun ongkosnya juga terbilang berat, terutama bagi generasi kedua, yang merasa bersalah karena tidak dapat “mendidik” generasi selanjutnya sesuai dengan budaya negara asal mereka. Sama beratnya dengan orangtua generasi kedua yang memilih untuk menjadi “American” secara penuh dan menolak mengidentifikasi diri mereka dengan budaya atau negara asal orangtuanya. Sang orangtua pasti sedikit banyak terbebani oleh rasa bersalah, terutama ketika menghadapi komunitasnya.

Sebagai imigran, aku pun menyadari adanya beban kultural seperti ini. Semacam rasa tercabik karena “wajib” menjadikan anakku sebagai seorang “Indonesia”, dan pada saat yang sama dihadapkan pada dilema kultural dari suami yang berlatar belakang Latino. Sekaligus juga dilema untuk mengenalkan pada anakku tentang “bagaimana menjadi seorang Amerika.”

Untungnya, aku tidak terlalu lama menghadapi dilema ini, karena semakin hari suami semakin menunjukkan pilihan identitas dirinya sebagai “American” daripada “Latino”. Cara dia berpikir, menyelesaikan masalah, penggunaan bahasa, semuanya lebih mengarah kepada identitas negara ini daripada identitas kultural orangtuanya. Ini memudahkan pilihanku untuk mengambil pilihan tentang identitas diri anak.

Aku tidak pernah menekankan pada anakku bahwa dia adalah anak Indonesia. Yang aku katakan padanya adalah bahwa keluarga mamanya dari Indonesia, dan keluarga ayahnya dari Texas. Aku mengajarkan bahasa Indonesia (tidak rutin) dan ayahnya mengajarkan bahasa Spanyol (juga tidak rutin), dengan tujuan agar dia bisa berkomunikasi multi bahasa. Namun identitas diri anak sudah kuputuskan penuh sebagai seorang Amerika.

Sebagai generasi pertama, aku tahu ini bakal membuatku menghadapi hujan kritikan, terutama dari komunitas negara asalku. Tapi, hey, sebagai orangtua, aku juga merasa wajib untuk tidak membebani anak dengan multi identitas yang mungkin bukan pilihan yang dia inginkan. Cukuplah kujelaskan padanya bahwa seperti semua orang di Amerika, dia berasal dari orangtua berlatar belakang imigran. Namun dia tidak perlu harus menjadi seorang Indonesia atau seorang Latino.

Mudah-mudahan pilihanku ini yang terbaik untuknya. Aku menjadi permen dalam mangkuk bernama Amerika, sementara dia bisa lebur sepenuhnya sebagai seorang Amerika. Dan dia tidak perlu bingung menjawab ketika suatu saat ditanya, “Are you an American?

******

picture copied from: http://www.crcna.org/pages/osj_cirasap.cfm