Bandara adalah tempat di mana kita bisa melihat miniatur masyarakat di sebuah negara, tidak terkecuali bandara O’Hare – Chicago. Terutama jika kita mendapat jalur penerbangan yang unik. Gambaran Amerika sebagai sebuah negara multikultur bisa dengan sangat jelas terlihat.
Kali ini, berada di bandara O’Hare, seolah-olah aku tidak sedang berada di sebuah negara berbahasa resmi Inggris. Sewaktu antri masuk gate, boleh dibilang 90% penumpang yang antri adalah ras Mongolian. Hanya ada segelintir penumpang ras Kaukasian. Mereka antri dengan tertib sambil mengobrol satu sama lain dalam bahasa Cina. Sesekali aku bertukar senyum dengan mereka, dan kalimat pertama yang keluar adalah, “You speak Mandarin?” atau ,”You from Hongkong too?“. Lalu disambung dengan anggukan kepala dan senyum jika aku menjawab tidak.
Sesekali para petugas mendapat kesulitan saat berusaha menjelaskan prosedur kepada beberapa penumpang yang sama sekali tidak paham bahasa Inggris. Seorang pria tua berkursi roda dengan perawatnya yang rupanya juga tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali, kebingungan mendengar penjelasan sang petugas. Lalu petugas itu memanggil seorang penumpang yang tampaknya mahasiswa, “Hey, do you speak English?“
Si pemuda itu menjawab gagap, “Nn… not really.” Tapi dia tetap maju untuk membantu si petugas.
Lalu berulanglah adegan di mana petugas itu berusaha menjelaskan sekali lagi pada pria tua tersebut dengan disertai gerakan isyarat tangan, dengan dibantu oleh si pemuda yang berusaha menerjemahkan maksud si petugas dalam bahasa Mandarin.
Di ruang tunggu, sudah berjubel penumpang flight pertama tujuan India. Ruang tunggu tersebut berubah nuansa, seolah-olah sebuah ruang tunggu bandara di India. Para penumpangnya banyak yang berbusana tradisional, dengan garis wajah khas, dan bahasa India. Nyaris tidak ada yang berbicara dalam bahasa Inggris, kecuali segelintir dan beberapa penumpang ras Kaukasian.
Sementara di sudut lain, aku melihat penjaga kios snack yang berwajah khas Latino berbicara patah-patah dalam bahasa Inggris, cukup untuk membuat pembeli mengerti tentang harga segelas kopi atau sebungkus sandwich yang mereka beli.
Amerika, sering disebut orang sebagai sebuah melting pot, tempat di mana semua unsur budaya yang berbeda bercampur menjadi satu. Namun sebenarnya, menurutku, istilah yang tepat adalah seperti mangkuk berisi permen warna-warni. Tiap kultur masih bisa dilihat dengan jelas, dan dapat dicicipi setiap unsurnya yang masih murni.
Tidak semua imigran dapat melebur dalam masyarakat setempat, bahkan mereka yang menguasai bahasa Inggris sekalipun. Tiap unsur etnis biasanya punya jaringan komunitas yang kental. Komunitas orang Thai, India, Bangladesh, Indonesia, Vietnam, Arab, Cina…. nyaris semuanya ada. Jaringan itu berfungsi sebagai tempat “mengungsi” untuk melepaskan diri sejenak dari budaya “berbahasa Inggris” yang mereka jalani sehari-hari. Bagi imigran yang tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali, kehadiran komunitas tersebut adalah penyelamat yang bisa membantu untuk dapat tetap survive di negara ini. Komunitas umumnya menyediakan akses, tidak saja dalam soal bahasa, namun juga kebutuhan lain seperti makanan, baju khas, pekerjaan, atau informasi bantuan hukum.
Generasi imigran pertama umumnya terbilang rigid. Mereka masih menggunakan bahasa asal dengan intensitas cukup tinggi, dan proses melebur tidak sepenuhnya dapat mereka jalani.Keterikatan dengan komunitas juga sangat kuat. Mereka bergaul dan berkomunikasi, lebih sering dengan orang dari komunitas yang sama.
Generasi ke dua biasanya menanggung “tanggungjawab” untuk tetap melestarikan budaya asal orangtuanya, sekaligus menjadi seorang “American“. Generasi ini yang rentan terkena sindrom dua budaya, kebingungan identitas diri, apakah akan sepenuhnya mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang Amerika atau seorang Cina, misalnya.
Kita bisa mengenali sindrom ini dengan melihat bagaimana mereka menjawab pertanyaan,”Are you an American?” Mereka yang masih memegang kultur dengan kuat, akan menjawab, “I was born here, but my father was from…. my mother was from… I was American, because I was born here… because I have American passport...”
Barulah pada generasi ketiga, umumnya mereka sudah lebih santai dan bisa lepas dari keharusan menjaga kesinambungan kultur. Namun ongkosnya juga terbilang berat, terutama bagi generasi kedua, yang merasa bersalah karena tidak dapat “mendidik” generasi selanjutnya sesuai dengan budaya negara asal mereka. Sama beratnya dengan orangtua generasi kedua yang memilih untuk menjadi “American” secara penuh dan menolak mengidentifikasi diri mereka dengan budaya atau negara asal orangtuanya. Sang orangtua pasti sedikit banyak terbebani oleh rasa bersalah, terutama ketika menghadapi komunitasnya.
Sebagai imigran, aku pun menyadari adanya beban kultural seperti ini. Semacam rasa tercabik karena “wajib” menjadikan anakku sebagai seorang “Indonesia”, dan pada saat yang sama dihadapkan pada dilema kultural dari suami yang berlatar belakang Latino. Sekaligus juga dilema untuk mengenalkan pada anakku tentang “bagaimana menjadi seorang Amerika.”
Untungnya, aku tidak terlalu lama menghadapi dilema ini, karena semakin hari suami semakin menunjukkan pilihan identitas dirinya sebagai “American” daripada “Latino”. Cara dia berpikir, menyelesaikan masalah, penggunaan bahasa, semuanya lebih mengarah kepada identitas negara ini daripada identitas kultural orangtuanya. Ini memudahkan pilihanku untuk mengambil pilihan tentang identitas diri anak.
Aku tidak pernah menekankan pada anakku bahwa dia adalah anak Indonesia. Yang aku katakan padanya adalah bahwa keluarga mamanya dari Indonesia, dan keluarga ayahnya dari Texas. Aku mengajarkan bahasa Indonesia (tidak rutin) dan ayahnya mengajarkan bahasa Spanyol (juga tidak rutin), dengan tujuan agar dia bisa berkomunikasi multi bahasa. Namun identitas diri anak sudah kuputuskan penuh sebagai seorang Amerika.
Sebagai generasi pertama, aku tahu ini bakal membuatku menghadapi hujan kritikan, terutama dari komunitas negara asalku. Tapi, hey, sebagai orangtua, aku juga merasa wajib untuk tidak membebani anak dengan multi identitas yang mungkin bukan pilihan yang dia inginkan. Cukuplah kujelaskan padanya bahwa seperti semua orang di Amerika, dia berasal dari orangtua berlatar belakang imigran. Namun dia tidak perlu harus menjadi seorang Indonesia atau seorang Latino.
Mudah-mudahan pilihanku ini yang terbaik untuknya. Aku menjadi permen dalam mangkuk bernama Amerika, sementara dia bisa lebur sepenuhnya sebagai seorang Amerika. Dan dia tidak perlu bingung menjawab ketika suatu saat ditanya, “Are you an American?“
******
picture copied from: http://www.crcna.org/pages/osj_cirasap.cfm
kataitukata
Desember 4, 2012
Saya tertarik untuk menuliskan komentar di blog Ibu Nava. Jadi, saya permisi untuk menyelipkan satu dua pendapat yang mungkin agak berbeda. Saya terkesan sekali dengan tulisan ini. Pertama, strukturnya yang sangat sistematis. Kedua, bahasa yang digunakan jernih dan lugas. Ketiga, secara substantif, isinya mengajak pembaca untuk bukan sekedar berpendapat, mengecam, memberi kritik, tetapi juga tertegun, merenung sejenak, menimbang-nimbang, berpikir dan pada akhirnya, harus menyadari, memaklumi serta berlapang dada dengan penuh bijaksana.
Saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman betapa ruwetnya kita bila hidup dalam dunia yang “wah”, mengejutkan, berwarna-warni. Sebelumnya saya membaca beberapa buah buku seorang sarjana yang katanya, namun telah saya pastikan bahwa ia lahir di Bogor. Keluarga besarnya bahkan menjadi sarjana-sarjana yang unggul dipelbagai bidang pemikiran. Mereka menetap di Malaysia dan beberapa bekerja di Singapura. Bahkan seorang ilmuwan yang saya maksud, menjadi pimpinan dan ideolog salah satu partai politik di Malaysia. Identitasnya jelas, ia “orang Melayu”.
Bagi saya yang berkulit kuning langsat dan berbahasa Indonesia (Melayu modern), orang-orang tidak sungkan untuk menyebut bahwa saya juga Melayu. Namun, berbeda dengan mereka yang berkulit agak gelap, berhidung agak mancung dan berwajah khas, mungkin berasal dari India, Pakistan, Bangladesh, atau Srilanka. Bangladesh dan Srilanka, memiliki kulit agak gelap dan kering daripada India dan Pakistan yang barangkali ada satu dua orang yang kutemui, agak kuning. Ketika mereka menikah dengan orang Melayu, atau ketika mereka menikah dengan orang Muslim lokal, entah bagaimana prosesnya, otomatis akan menjadi Melayu.
Ada banyak sekali orang berkulit putih. Tapi saya masih bisa membedakan dengan jelas, mana yang penduduk Singapura, China, Jepang dan Korea. Mungkin yang asli dari Beijing atau Shanghai berkulit lebih putih pucat, sementara mereka penduduk lokal, agak kuning dan hangat. Jelas, keduanya berbicara bahasa China dengan logat yang berbeda. Yang pertama berbicara dengan aksen yang masih orisinil, sementara yang kedua terpaut dengan tata dan struktur bahasa Melayu. Ketika mereka “Muslim” atau menikah dengan orang “Muslim” atau menikah dengan orang “Melayu” atau menikah dengan orang Arab, India atau penduduk yang dikenal sebagai “Melayu” karena berbagai hal, ia akan menjadi “Melayu”.
Suatu saat saya sangat kaget. Pasalnya, orang yang saya kira dari China, ternyata orang Jawa. Betapa tidak? Orang berkulit putih bersih dan memakai pakaian yang fashionable, kemudian mengangkat telepon dan tiba-tiba berbicara bahasa Jawa Timuran-Suroboyoan “medok totok”. Sontak saya berkomentar, “Ealah…dulur dhewe…” Setelah telepon, orang itu menatap saya dan “meringis” gembira karena bertemu dengan orang “sedesa”.
Nah, persoalannya, ketika ada persoalan politik-kebudayaan, yang membuat “orang Indonesia” dan “orang Malaysia” saling mengolok satu sama lain, maka, siapa yang sebenarnya disebut sebagai pewaris kebudayaan tertentu? Kita ini sama, kulit kita (beberapa) sama. Bahasa kita mirip-mirip. Dulu mbah-mbah kita juga saling mengunjungi, bahkan beberapa kuburannya ada di Jawa.
Pemerintah, anggota dewan, politisi dan ahli kebudayaan kadang enggan “jujur” bahwa kita memiliki kebudayaan bersama. Reog, Batik, Lagu-lagu dan lain sebagainya, menjadi senjata ampuh untuk membuat kegaduhan. Sungguh ironis.
Bagi saya, soal konsep dan keberlakuan “negara bangsa” yang menjadikan satu sama lain saling membenci, inilah persoalannya. “Lha apa ya kalau sudah upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sudah nasionalis? Tentu tidak.” Terlebih Indonesia bersuku-suku dan memiliki beribu bahasa. “Apakah ada suku-suku kecil yang punya pahlawan? Jelas tidak punya, karena mereka bukan dari suku besar seperti Jawa. Apakah Indonesia hanya orang Jawa saja?” Inilah persoalan-persoalan yang berkembang.
Banyak orang juga resah (atau pura-pura resah, saya kurang paham) yang menyatakan bahwa “Kita kehilangan jati diri kebangsaan dan nasionalisme!” dengan nada emosional. Lalu dengan maksudnya itu, kita harus menolak segala kebudayaan selain kebudayaan lokal yang sudah ada. Bagi saya, ini hal yang mustahil. Tidak ada yang benar-benar asli. Kalau kita di Mall di berbagai kota besar, tidak ada sama sekali para pengunjung yang benar-benar Indonesia, benar-benar Jawa, benar-benar Sunda, dan lain sebagainya.
Singkat cerita, sudahlah biarkan saja tentang identitas yang kompleks ini. Melting pot di antara beribu suku dan etnis juga terjadi di Indonesia, dan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Sekiranya saya dianggap Melayu, lebih baik patut disyukuri. Bila ibu Nava yang asli Indonesia kemudian sudah beradaptasi dengan situasi dan iklim hidup yang sungguh berbeda di Amerika, ya tidak perlu dituntut untuk mengasli-aslikan diri bahwa harus menjaga betul martabat bangsa, ini, itu dan lain sebagainya. Ya sudahlah, hidup mengalir saja…, syukur jika nanti bisa membantu bangsa, memberikan kontribusi yang positif dalam bentuk apapun bagi sesama orang Indonesia, sejatinya bagi umat manusia, yang melampaui bangsa, suku, ras, agama dan batas apapun.
Orang yang berkulit Eropa atau Amerika kemudian merendahkan bangsa lain, ini baru persoalan yang besar. Bangsa manapun, sangat dilarang untuk merendahkan martabat bangsa lain. Franzt Fanon mengajarkan bahwa, sebaiknya manusia, meninggikan derajat dan martabat seluruh umat manusia apapun bangsanya secara manusiawi. Multikulturalisme bukan untuk apa, tapi untuk memaklumi secara arif bahwa umat manusia berbangsa-bangsa, karena itu prinsip utama manusia hidup adalah memanusiakan manusia.
Julie Nava
Desember 6, 2012
Hahaha, jadi ketawa baca istilahnya : “mengasli-aslikan diri”. 😀
Betul, bagi saya, konsep rasa kebangsaan atau martabat bangsa dan sejenisnya, tidak relevan dalam kasus ini. Sebab tidak ada seorangpun yang bisa memaksa seseorang, bahkan anaknya sendiri, untuk mengambil identitas diri yang bukan pilihan mereka. Apalagi dalam kasus pernikahan campuran, di mana orang tua dua-duanya dari latar belakang yang berbeda.
Apakah perlu “membelah-belah” anak dengan memaksanya mengaku sebagai orang Indonesia, sementara riilnya dia tumbuh dan besar di sebuah negara yang sama sekali berbeda dan punya ayah dari negara lain? Apakah dia harus juga mengakui bahwa dia adalah orang Brazil, misalnya? Padahal ibunya dari Asia.
Hal yang seperti ini perlu dipikirkan oleh para orangtua, terutama yang memiliki anak yang lahir dan tumbuh besar di negara lain. Dia tidak perlu menjadi orang asing di tanah kelahirannya sendiri, bukan? Cukuplah kita mengenalkan bahwa dia berasal dari keluarga campuran, dan bahwa dia perlu mempelajari hal dasar seperti bahasa, adat, budaya dari kedua orangtuanya agar suatu saat jika dia berkunjung ke tempat mereka, dia dapat luwes berkomunikasi. Tanpa perlu memaksanya menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Well, ini hanya pendapat saya. Tentu setiap orang punya pendapat masing-masing.
Soal apakah nanti saya dicap nasionalis atau bukan, saya tidak peduli. Bahkan saya berani bilang, saya lebih nasionalis dibandingkan para koruptor dan pemakan uang rakyat yang betah tinggal di Indonesia. Karena selama saya tinggal di negeri orang, saya tetap menjaga nama baik dan bertingkah laku baik tanpa pernah dengan sengaja melanggar hukum.
ummughozi
Desember 4, 2012
menginspirasi mba 🙂 apapun kewarganegaraannya, sama saja, hamba Allah di bumi cintaNya 🙂
Julie Nava
Desember 6, 2012
Betul sekali, mbak. Saya setuju 🙂
ikatrina
Desember 13, 2012
jangan alyssa mbk.. aq aja kdg bingung klo ditanya asli mana? i was born n raised in jakarta yg bs di bilang multiculture jg.. aq cmn jawab indonesia tulen!!! >.<
walau suka di ledek org jawa gak bisa bahasa jaw
bla bla bla..
agree.. dont make her more confuse, ceritakan saja asal usul sejarahnya then she will know who is she ^^
Julie Nava
Desember 14, 2012
Jakarta multiculture, bener. Sebenarnya generasi sekarang lebih multi daripada generasi2 sebelumnya, karena lebih mobile dan lingkup pergaulan tidak dibatasi teritori. Sudah global.