Eid 2012: Pluralitas

Posted on Agustus 29, 2012

1


“Apa yang membuatmu senang menjadi muslim?” – Jika ditanya seperti itu, saya pasti akan menjawab: “Sisi penerimaan muslim terhadap pluralitas.”

Sewaktu menunggu sholat Eid dimulai, pandangan saya beredar pelan ke seluruh penjuru ruang. Saya melihat wajah-wajah khas Timur Tengah, Eropa, Asia. Saya melihat beragam warna kulit, busana, dan beberapa dialek lokal yang tertangkap telinga. Di sebagian shaf, deretan kursi berjajar, untuk para jamaah lanjut usia yang tidak mungkin sholat sambil berdiri. Anak-anak berlarian di sela-sela jejeran jamaah. Mereka cantik dan tampan, sebagaimana halnya orangtua mereka. Dan ketika pandangan saya tertumbuk pada dua orang yang saling bersalaman sembari mengucapkan salam, hati saya luruh. Bagaimana mungkin saya tidak akan mensyukuri karunia dengan menjadi muslim, di tengah lautan kebersamaan seperti ini?

Secara sosial, salam adalah instrumen untuk mengisi kekosongan yang tercipta akibat perbedaan kultur, politik, dan ekonomi dalam tradisi komunitas Muslim. Apapun warna kulit, bahasa, tempat, jika sesama muslim saling bertemu dan mengucapkan salam, hampir bisa dipastikan muncul binar bahagia pada mata mereka. Dan jika mereka mengenali orang lain sebagai muslim, umumnya akan muncul pula perasaan sebagai saudara. Seperti halnya tubuh, jika satu bagian tersentuh, seluruh indera akan bersamaan memberikan reaksi.

Secara pribadi, saya menganggap pluralitas lebih nyaman untuk dijalani. Itu sebabnya saya memilih masjid yang jamaahnya lebih beragam daripada masjid yang didirikan oleh komunitas tertentu. Sebab masjid yang memiliki jamaah plural, interaksinya terasa lebih lentur dibandingkan masjid yang dikelola berdasarkan kesamaan asal negara atau budaya. Saya tidak merasa asing di tengah keasingan, dan tidak merasa canggung saat menyapa jamaah dari negara yang berlainan.

Berbeda rasanya ketika saya sholat di masjid milik komunitas Bangladesh, misalnya. Saat itu, tidak ada satu pun yang menyapa, dan mereka semua memakai bahasa Bengali. Saya tidak merasa menjadi bagian dari mereka, karena yang kental adalah unsur identitas budaya, bukan identitas muslimnya. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh sebagian muslim Amerika ketika mereka menghadiri acara yang diselenggarakan oleh komunitas Indonesia. Hampir bisa dipastikan mereka tidak sepenuhnya nyaman berada dalam sebuah pertemuan, di mana bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tidak mereka pahami, dan kebiasaan serta konteks pembicaraan yang berkisar pada konteks keIndonesiaan; bukan konteks global.

Dalam sebuah ruang yang plural seperti di masjid yang saya datangi inilah, saya justru lebih merasakan keindahan Islam. Saya bisa melihat bagaimana orang-orang berusaha menyambungkan diri dengan orang di sekitarnya. Melalui salam, senyum, dan berlanjut dengan pembicaraan kecil. Bahkan terkadang ada kejutan manis. Misalnya, wanita Irak yang berada di sebelah saya ternyata pernah bekerja untuk kedutaan Indonesia. Lalu wanita Pakistan yang menyapa saya di luar ruangan, ternyata bermantukan pria muslim Indonesia. Satu demi satu titik tersambung, seperti jaring laba-laba, membentuk pola keterikatan yang menakjubkan.

Kelenturan terhadap pluralitas inilah yang membuat Islam menjadi alternatif yang dirindukan orang. Di sebuah negara muslim, ada larangan untuk melukai non-muslim yang tidak berbuat kerusakan. Ada larangan untuk menyakiti orang yang sama-sama bersaksi tentang keEsaan Tuhan dan mencintai Muhammad. Ada larangan untuk merampas barang milik orang lain, sekalipun orang itu yahudi. Ada larangan untuk menuduh atau membunuh sesama muslim tanpa alasan jelas. Sekali waktu saya pernah membaca kesaksian seorang muallaf di negara ini: bahwa dia memilih menjadi muslim karena komunitas inilah yang dapat menerima dia dengan utuh, tanpa mempermasalahkan warna kulit dan asal-usulnya.

Namun sejauh mana kelenturan itu masih terasa dan diterapkan?

Saya tidak berani menjawab. Sebab saya tahu, kenyataan di luar masjid bisa sangat bertolak belakang.

******

sumber foto: http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,1921298,00.html