Dua hari yang lalu, saya merapikan file posting di blog ini, dan membaca ulang draft-draft yang belum terselesaikan.
Ada satu draft yang cukup lama saya biarkan. Isinya tentang Troy Davis, seorang kulit hitam yang proses eksekusinya memancing gelombang protes cukup besar. Saya membuat draft itu bersamaan setelah ikut menandatangani Petisi penolakan hukuman mati terhadap Troy Davis. Namun draft itu tidak saya selesaikan karena beberapa pertimbangan.Kemudian kemarin saya putuskan untuk menghapus draft tersebut.
Mengapa ini saya lakukan? Alasannya, karena proses pemahaman saya terhadap isu Troy Davis belum tuntas. Secara global saya tahu, bahwa putusan terhadap kasus ini diragukan keadilannya karena tujuh saksi menyatakan menarik kesaksian mereka dan mengaku bahwa kesaksian itu dilakukan di bawah tekanan polisi. Demikian pula, bukti senjata api yang menewaskan korban tidak ditemukan sekalipun pelurunya ada. Namun selain dua hal global tersebut, saya tidak paham sama sekali.
Sewaktu ingin menulis tentang Troy, barulah saya sadari betapa minimnya pengetahuan saya tentang sistem peradilan di AS, termasuk proses-proses yang mengiringi jalannya persidangan; seperti apa itu habeas corpus, procedural default, federal appeals, federal hearings, dan sebagainya. Tanpa mengetahui bagaimana proses-proses tersebut berjalan, saya tidak dapat memuaskan rasa ingin tahu saya terhadap detil-detil tertentu. Juga, tanpa memahami dampak dari beberapa hal lainnya seperti aturan antiterorisme, rasisme, stereotype, pemangkasan dana federal pada Georgia Resource Center yang mengakibatkan banyak saksi yang seharusnya ditindaklanjuti menjadi terbengkalai; mustahil saya dapat melihat kasus ini secara utuh dan menuliskannya tanpa bias.
Bias. Ini yang sedapat mungkin saya usahakan untuk dikurangi setiap kali menulis tentang sebuah isu. Tidak cukup hanya dengan bersandar pada pembelaan terhadap kelompok minoritas atau kemanusiaan, saya juga perlu memahami hal-hal lain yang mengiringi isu tersebut.
Misalnya untuk isu Ahmadiyah. Saya perlu paham apa itu Ahmadiyah, sejarahnya, bagaimana mereka menjalankan keyakinannya, apa landasan filosofi kelompok mereka, dan mengenal kehidupan mereka dari dekat. Tidak bisa saya menulis atau mengklaim ajaran ini sesat atau benar hanya karena banyak orang menulis seperti itu, atau hanya karena bersandar pada filosofi yang saya yakini secara personal. Juga tidak bisa saya menyandarkan argumen hanya berdasarkan email berantai yang membeberkan sejumlah “dosa” pengikut Ahmadiyah dan mengapa mereka perlu “dilenyapkan” dari bumi Indonesia. Saya perlu memahami semuanya secara utuh, termasuk memahami aspek hukum yang terkait, bagaimana hukum tersebut dibuat, dan apa dampaknya. Termasuk juga bagaimana eskalasi ketegangan sosial di masyarakat bermula atau terpicu.
Itu semua adalah faset-faset penting yang perlu dijelajahi oleh seorang penulis. Tanpa itu, tulisan kita tidak akan punya ruh, dan tidak memberikan kontribusi berupa pencerahan kepada pembaca. Dan itu pula sebabnya, saya memilih menunda menulis tentang topik tertentu dan memilih untuk mengendapkannya, sampai saya tuntas melakukan riset untuk memahami semua fasetnya.
*****
picture from: http://www.scienceandsensibility.org/?p=987 (sekaligus ini artikel yang menarik tentang bagaimana menjadi pembaca yang kritis)
rizki kurnia
April 3, 2012
nice sharing mbak, jadi dapat pengetahuan baru.. selama ini saya sering menulis tentang tema-tema yg sudah diketahui masyarakat, karena mencomot dari banyaknya pemberitaan & publikasi di media yg mengulas suatu isu, X: liberalisme, pluralisme, jadi mungkin orang-orang yg baca nggak dapat pencerahan, seperti kata mbak.. kapan-kapan belajar nulis sama mbak dong, hehehe
Julie Nava
April 5, 2012
Sama-sama mbak… 🙂 Untuk isu-isut ertentu memang sebaiknya disertai riset atau sumber referensi yang memadai, jadi pembaca mendapat pengetahuan lebih banyak. selama ini media juga sering tidak memberitakan suatu isu dengan berimbang.