Istri-Istri Pengumpet Duit Belanja

Posted on November 23, 2011

2


Ini sekedar intermezzo saja sehabis mengobrol panjang lebar dengan beberapa kenalan seputar posisi segitiga: kerja di luar rumah – ibu rumahtangga – menulis. Ada poin yang lucu dalam obrolan itu, yakni tentang kebutuhan sosial dan ongkosnya yang tidak sama antara suami dan istri.

Dulu sewaktu kecil hingga remaja, saya sering memergoki ibu sedang memilah sebagian uang dan disembunyikan dengan cermat di tempat rahasia. Dan seperti biasa, ibu akan memberi kode “Jangan bilang ke bapakmu” dengan kerlingan matanya. Saya tahu untuk apa uang itu digunakan, yakni untuk membeli baju-baju baru, beberapa alat dapur baru atau uang selamatan, dan sesekali kosmetik.

Bapak adalah tipe pria yang ringkas dan “pelit” untuk urusan ini. Jika melihat baju-baju ibu masih tergolong bagus dan layak pakai, beliau sering menolak permintaan ibu untuk membeli baju baru. “Untuk apa? Yang lama masih bagus, kok,” begitu selalu jawabannya. Demikian juga jika melihat alat dapur masih layak pakai, bapak tidak terlalu antusias membelikannya yang baru.

Sementara bagi ibu, semua hal itu terutama baju baru, punya fungsi lebih. Baju juga berfungsi sebagai perangkat sosial untuk “berkomunikasi” dengan ibu-ibu lainnya. “Bapakmu itu nggak ngerti soal ini. Ibu-ibu itu matanya jeli semua. Kalau ibu pake baju yang sama dari arisan ke arisan atau dari lebaran ke lebaran, mereka pasti mengira bapakmu itu nggak perhatian sama ibu, nggak ngerumat istrinya. ‘Kan nggak enak jadinya,” kata ibu.

“Biar aja mereka mau ngomong apa. Aku juga pake baju dan sandal yang sama dari lebaran ke lebaran, nggak ada yang ngomongin tuh,” komentar saya.

“Soalnya kamu belum jadi ibu-ibu. Nanti kalau kamu sudah menikah, pasti kamu akan ngerti.”

Ucapan ibu akhirnya terbukti juga setelah saya menikah selama beberapa tahun. Saya dan suami memakai joint account, setiap kebutuhan rumahtangga dibicarakan dan ditentukan bersama, dan ada catatan yang bisa saya akses agar saya tahu untuk apa saja penghasilan dia digunakan. Suami juga selalu memberitahu jika dia membeli barang tertentu, untuk hobi dia misalnya. Demikian juga saya. Pendeknya, hampir tidak ada rahasia untuk soal finansial diantara kami.

Tapi lama-lama, saya gerah juga setiap kali beradu argumen dengannya tentang perlu tidaknya membeli sebuah barang. “Penting, nggak? Masih bisa ditunda, nggak?” Itu yang selalu dia katakan. Tidak jarang dia mengkritik barang-barang yang saya beli, yang katanya mubazir karena hanya saya pakai satu atau dua kali dan selebihnya nongkrong dengan manis di lemari dapur. Belum lagi dia tergolong cermat membaca setiap pengeluaran, dan kalau ada pengeluaran “aneh” di catatan account, pasti dia akan mencecar saya dan lingkaran argumen kembali berulang.

Can you just let me to have fun a little bit?” kata saya kalau sudah merasa gerah.

“No, honey. I f I let you like this, it’s getting expensive,” jawabnya.

Expensive wife. Itu ledekan yang dia tujukan pada saya, dan saya cuma bisa nyengir mendengarnya. Tapi saya pikir, ada kesamaan antara dia dan para suami lainnya. Yakni, laki-laki kadang-kadang tidak mengerti mengapa istrinya membeli sesuatu yang “tidak masuk akal”. Soal memilih baju misalnya. Selama awal-awal menikah, saya cenderung mengikuti selera suami dengan pilihan atau warna tertentu. Tetapi personaliti saya yang cenderung suka tabrakan dan bereksperimen, kadang-kadang menuntut untuk dipuaskan. Saya ingin baju berenda, dengan topi lebar dan sepatu boot, misalnya. Itu tidak akan pernah dia setujui, jadi diam-diam saya hanya bisa bermimpi suatu saat bisa membeli dan memakainya.

Barang-barang dapur. Ini juga sukar saya jelaskan ke dia. Barang-barang dapur seperti waffle toaster, crock pot, frying pan,dan alat-alat dapur khas Asia memang tidak setiap saat saya gunakan. Tetapi saya merasa perlu memilikinya karena suatu saat naluri eksperimen saya muncul. Dan saya juga perlu semua itu, just in case ada obrolan dengan ibu-ibu lain tentang hal-hal tersebut, saya bisa nyambung dan nggak hanya bengong sebagai pendengar. Ini termasuk kategori “perangkat sosial”.

Kosmetik dan segala macam alat kecantikan. Ini termasuk kategori yang sering jadi bahan argumen. Sebagian istri ada yang gila krim wajah, pewangi, atau warna-warna pulasan. Saya termasuk golongan istri penggila wewangian dan lotion, serta suka mencoba merk baru. Itu sebabnya saya lebih memilih membeli sabun, shampoo atau lotion dalam bentuk kecil dan suka ngeles kalau suami menganjurkan membelinya dalam paket besar di Sam’s Club agar awet. Tentang pemulas mata pipi dan bibir, serta pensil alis dan maskara,  ini sebetulnya bukan termasuk daftar, tetapi saya tetap memerlukannya. Just in case suatu saat saya ke rumah mertua di Texas, saya tidak terlalu canggung berbaur dengan anggota keluarga suami yang perempuan, yang gemar berdandan sekalipun hanya untuk ke Walmart. Ini juga tergolong “perangkat sosial”.

“I think your new friends are bad,” canda suami saya. “Before you met them, you didn’t need all those freaking colors to make you feel good about yourself.”

“I need those,” jawab saya. Semua itu bukan semata untuk soal kecantikan, tetapi ada fungsi sosial di dalamnya. Sewaktu tinggal di Texas, ipar perempuan, mertua, dan teman-temannya mengajari saya berdandan karena itu adalah bagian dari ritual “menjadi perempuan”. Perempuan yang wajahnya polos tanpa makeup, tanpa baju rapi, rambut tertata serta aksesoris saat keluar rumah, itu tidak pas dalam pandangan mereka. Saya menggunakan kesempatan itu untuk bisa lebih dekat dengan mereka, dan belajar memoles makeup ke wajah. Mungkin buat para suami, ini hal remeh. Tetapi buat para perempuan, memilih “perangkat sosial” yang tepat adalah salah satu cara untuk melebur dengan komunitasnya dan sedikit banyak turut menentukan keberhasilan berkomunikasi.

Ongkos sosialisasi lainnya seperti arisan, membantu teman, membantu kerabat, ngopi di cafe atau belanja bareng sesekali, ini juga penting; namun tidak selalu disetujui proposalnya dalam anggaran rumahtangga. Jadi apa solusinya?

Well, karena tidak semua argumen bisa diselesaikan, akhirnya mau tidak mau saya putar otak untuk mencari jalan keluarnya. Saya mulai meminta cash untuk pengeluaran bulanan dengan alasan, “I want my authority in my own domain” (jiahhh… gawat bener istilahnya, hehehehe). Dari situ, saya mulai mengutak-atiknya. Menyisihkan sebagian, mengakali yang lain, dan mencoba menambah jumlahnya dengan cara lain.

Dan bagaimana hasilnya?

Sejauh ini, saya puas dengan cara yang saya gunakan. Adu argumen tidak lagi sesering dahulu, dan “ongkos sosial” maupun ongkos rumahtangga bisa berjalan seiring. Dan kini secara resmi saya tergabung dalam “Klub Istri-Istri Pengumpet Duit Belanja” seperti halnya ibu saya dulu dan para istri yang lain.

******
Ditandai: ,
Posted in: Memoir Writing, Women