Bertahun lampau, pada hari yang tak perlu kuceritakan kapan dan dimana, aku kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Aku sholat seperti biasa, tapi tanpa hati. Hatiku sudah mengering tanpa bisa kucegah. Seperti rerumputan di padang luas yang lama tak tersiram hujan. Di tanah yang retak. Diselubungi udara yang panasnya mampu mendidihkan setiap lautan.
Itu puncak di mana cobaan hidup kurasa sudah melampaui kekuatanku untuk menanggungnya. Bukan cobaan terhadap fisik, tetapi lebih terhadap hati. Hati yang dengan setengah mati berusaha kujaga, akhirnya jatuh juga dan pecah berkeping.
Percayalah, jika hati yang retak, sungguh sukar untuk menyambungnya kembali. Aku hanya bisa memandangi kepingannya, tanpa punya kekuatan ataupun keinginan lagi untuk memungutnya, dan bertanya, “Why me, God?”
Dan karena tak kunjung kudapat juga jawaban, akhirnya aku berkata, “Baiklah.” Lalu langkahku kuteruskan. Menjauh, dan makin menjauh.
Kau tak perlu menunggu Hari Akhir untuk tahu bagaimana rasanya berjalan dan jatuh dari Shirath. Ia sudah ada di dunia ini, sebagai jalan yang dilalui banyak pendoa dan pengembara. Ia adalah hidup, umur, dan perjalanan yang tak kunjung usai kecuali jika telah sampai batasmu.
Percayalah, angin dan badainya sangat kencang. Teramat kencang. Kurasa setiap pendoa dan pengembara yang kau temui, pasti akan bisa bercerita hal yang sama. Betapa rawannya hati yang musti kau bawa, dan betapa menyiksanya ketika kau jatuh dari titian itu. Apa yang lebih menyiksa daripada ketika kau tak ingin melihatNya, namun wajahNya ada di mana-mana? Apa yang lebih membakar daripada ketika kau memutuskan untuk tak lagi menghiraukanNya, namun Ia terus mengulurkan tanganNya kepadamu?
Dan akhirnya aku kembali, memunguti kepingan-kepingan itu dan merekatkannya lagi. Satu demi satu, kususun agar kembali seperti semula.
Tetapi, ya, sesuatu yang sudah retak jarang yang bisa kembali seperti sediakala. Hingga kini aku masih bisa merasakannya. Ketika sendirian, kutelusuri alur-alur retakan itu, dan beribu kenangan kembali berlarian di benakku.
Perlu waktu untuk bisa menerima, bahwa hidup tidak selalu berupa pualam tanpa cela. Life sucks, life is unfair… get used to it and stay alive. Menikmati hidup yang kini sudah menjelma menjadi mozaik penuh warna, biarpun sesekali aku tak tahan menghadapinya. Menghayati setiap langkah yang makin lama makin terasa ringan, dan dada yang kian hari kian terasa lapang.
Alam nasyrah. Bukankah Kami telah melapangkan dadamu? Dan menurunkan beban, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan namamu. Sesungguhnya bersama setiap kesukaran, ada kemudahan. Bersama setiap kesukaran, ada kemudahan.…
picture copied from: http://www.snow-wallpapers.com/Buildings/snow-bridge/
ikatrina
September 15, 2011
its true.. its just feel empty when ure doin something without ur heart
been feeling like that recently.. i have no idea
i was thinking the prob is my heart, still cannot find something clicked
just believe He knows me better, holding on, be patience, keep on the path
assure that He has a better plan for us tomorrow, InsyaAllah
Julie Nava
September 15, 2011
Ya, banyak orang yang mengalami masa-masa seperti itu. Rasanya memang seperti berjalan di ruang hampa.