Foto atau gambar iklan yang menampakkan seorang ibu rumahtangga dengan celemek di pinggang sedang menghidangkan makan malam untuk keluarganya, mungkin bukan lagi visual yang digemari saat ini. Ide visual kini lebih banyak mengarah pada sosok perempuan yang mandiri secara ekonomi, punya kebebasan memilih jalan hidup, dan tidak melulu terkungkung urusan domestik. Memasak setiap saat untuk keluarga? Tidak lagi harus begitu. Tugas memasak bukan lagi domain khusus bagi perempuan. Laki-laki modern pun “menjajah” dapur dan ikut memikirkan apa yang terbaik untuk dihidangkan di meja makan keluarga. Itu bahkan menjadi salah satu poin daya tarik bagi mereka. Bisa memasak enak adalah salah satu kunci untuk bisa menawan hati perempuan. Begitu pengakuan yang pernah saya dengar dulu dari beberapa orang.
Namun buat yang pernah menjalani hidup sebagai ibu rumahtangga full mungkin tidak terlalu “keberatan” dengan ide visual kuno seperti yang ada di ilustrasi tulisan ini. Menyiapkan bahan, memasak, hingga menghidangkannya, itu sebenarnya lebih dari sekedar tugas domestik. Itu tugas besar yang dilaksanakan dengan hati. Segala sesuatu yang dilaksanakan dengan hati, betapapun sederhananya, akan menimbulkan dampak positif bagi penghuni rumah.Sebaliknya, seberapapun mahal dan enaknya sebuah makanan, jika dimasak tanpa hati, tidak akan banyak berarti bagi tubuh kecuali sekedar asupan material.
Itu yang saya rasakan ketika mudik ke Indonesia. Tadinya saya khawatir anak dan suami akan kesulitan beradaptasi dengan makanan di rumah, tetapi ternyata tidak. Biarpun di rumah makanannya sederhana, ternyata mereka suka. Ayam goreng garing, sambal tomat, tempe dan tahu goreng, sawi-terung-bayam rebus, mentimun, sayur sop, ikan laut, dan sesekali udang goreng. Tidak ada yang wah untuk masakan di rumah. Tetapi anak dan suami suka. Berkali-kali suami memuji masakan bikinan keluarga di rumah, dan dia selalu terlihat puas sehabis makan. Begitu juga ketika di Malang, tidak ada masalah soal makanan. Dia suka dengan pecel, soto, dan hidangan lain yang disiapkan di meja.
Problem dimulai ketika kami meninggalkan Jawa Timur. Dalam perjalanan ke Surabaya, kami mampir makan di sebuah warung sate yang cukup ramai. Di sini masalah sakit perut berkepanjangan dimulai. Malam harinya, suami dan anak sakit perut. Akhirnya saya memilih untuk tidak jalan-jalan atau mampir ke beberapa tempat karena tidak ingin kondisi mereka drop esok harinya.
Di Jakarta, kami makan di resto fastfood atau di resto yang saya anggap cukup aman dan bersih. Tetapi ternyata dampaknya tetap sama. Sakit perutnya tetap datang. Bahkan sekali saya melihat suami duduk bersandar dalam taksi dengan wajah pucat dan badan lemas, sementara anak saya duduk bergelung memegang perutnya sambil mengeluh, “my stomach hurts, Mom.”
Kondisi anak saya sedikit membaik ketika dia mulai makan buah lebih banyak. Tetapi sedikit saja salah makan, sakit perutnya kambuh. Begitu juga dengan suami. Saya mulai mengomel tentang air yang mungkin tidak bersih, tentang cuaca, tentang ini itu. Dan suami berujar, “Mungkin saja semua itu penyebabnya. Tapi mungkin juga karena sebab lain. Those are food with no love. Yang kita makan selain di rumah adalah makanan yang disiapkan tanpa cinta. Hanya dimasak berdasarkan transaksi dan jumlah uang.”
Waktu saya ceritakan pada teman saya, Ayu, dia langsung berkomentar, “Wah, sepertinya benar gitu mbak. Waktu aku masak saat lagi jengkel ke suami, dia juga sakit perut abis makan masakanku.” Hehehe….
Sampai hari ini kondisi perut anak dan suami masih belum sepenuhnya pulih, tetapi sudah tidak ada lagi wajah pucat dan keringat dingin di wajah mereka. Saya pun kembali ke rutinitas semula: belanja, memikirkan menu, memasak, dan menghidangkannya. Tapi kali ini ada rasa lain yang menyertainya. Saya tidak keberatan sama sekali dengan ide memakai celemek atau pusing memikirkan menu. Saya juga tidak keberatan dengan ide pekerjaan domestik dan rutinitasnya yang sesekali membosankan. Selama itu bisa menjaga kesehatan dan kegembiraan dua cahaya terkasih di rumah, kenapa tidak?
picture taken from: http://www.yumsugar.com/Top-10-Food-Trends-2007-236915
ayuavenue
Juli 11, 2011
wowww… ada namaku disituh.. horeeeee
Julie Nava
Juli 11, 2011
Lhaaaaa… ini dia ternyata juga punya wordpress 😀
santi d
Juli 11, 2011
Weh itu suami dan anak kena dampak makanan jorok itu mah.
Ibu RT .. I have mixed feeling about it. Sering diromantisasi, padahal kenyataannya tidak hehe.
Julie Nava
Juli 11, 2011
Yoi… dan susahnya biarpun makan di tempat bersih tetep aja malemnya pada sakit perut dan diare. Eh, meromantisasi sesuatu itu adalah salah satu cara untuk survive loh hahahaha…. I constantly trying to find good reasons to keep staying in my role as housewife. Mostly I could, sometimes I lose and got frustrated.
Tapi khusus soal makanan ini, gw belajar banyak dari pengalaman mudik. Karena gw baru nyadar selama ini makanan rumahan itu lebih adalah whole-food yang disiapkan dengan lebih personal dan cermat, bukan instant, bukan junkfood dan bukan produk massal. Mungkin itu yang bikin perut suami dan anak oke2 aja. Tapi begitu mulai sering makan di hotel dan di resto, daya tahan mereka langsung drop.
lianny hendrawati
Juli 28, 2011
Betul .. makanan yg disajikan dengan penuh cinta pasti terasa lebih enak he..he.. . Btw kita ketemu lagi disini Yik ..:D
Julie Nava
Juli 28, 2011
Hahaha… ketemu lagi lewat blog setelah lewat FB 😀