Tulisan ini semula adalah bagian dari tulisan saya tentang Greg Mortenson namun kemudian saya putuskan untuk ditulis dalam topik tersendiri, yakni tentang Memoir Writing. Saya mengambil tiga sample penulis memoir sebagai bahan perbandingan yakni Greg Mortenson, Amy Chua, dan Adeline Yen Mah. Ketiganya adalah penulis memoir kelas “New York Times Bestseller”, salah satu standar kualitas yang biasa saya jadikan patokan sebelum membeli sebuah buku.
Tentang Mortenson, mungkin sebagian besar dari kita pernah membaca bukunya dan mengikuti perkembangan beritanya. Greg Mortenson, penulis memoir Three Cups of Tea yang terkenal itu, kini sedang menghadapi masalah besar karena persoalan akuntabiliti dan kebenaran fakta yang dia tulis dalam memoirnya.
Amy Chua, memoirnya yang berjudul Battle Hymn of The Tiger Mother sangat laris dicari dan dibaca. Di perpustakaan kota saya, buku Amy Chua hampir tidak ada jedanya dipinjam orang. Itu sebabnya saya memutuskan untuk membelinya, karena hampir tidak mungkin menunggu giliran meminjam buku tersebut.
Adeline Yen Mah, adalah penulis dan dokter kelahiran Cina yang terkenal dengan memoirnya yang berjudul Chinese Cinderella dan Falling Leaves. Dari memoirnya itu saya mengetahui kisah tentang Ye Xian, Cinderella versi Cina. Bukunya sangat kaya dengan khasanah filsafat budaya Cina yang mengagumkan, termasuk juga sisi gelapnya yang dialami oleh Yen Mah dan menggoreskan kenangan tak terlupakan seumur hidupnya.
Memoir writing adalah jenis tulisan non-fiksi. Ia berdasar pada memori kita tentang episode-episode penting dalam hidup. Ia adalah cerminan dari perasaan dan interpretasi kita tentang sebuah kejadian nyata dalam perjalanan kita. Dan karenanya, memoir writing bisa menjadi sangat subyektif karena ia dituturkan berdasarkan persepsi kita, bukan persepsi orang lain. Jika orang lain yang terlibat dalam memoir kita diminta untuk menuliskan memoirnya sendiri tentang kejadian yang sama, sangat mungkin isi memoirnya sama sekali berbeda dengan kita karena dia memiliki persepsi dan interpretasinya sendiri.
Cairnya persepsi orang lain dalam sebuah tulisan memoir bisa kita lihat dengan jelas dalam karya Yen Mah. Beberapa komentar pembaca buku Yen Mah, selain mengagumi gaya tulisannya yang indah dan menyentuh, juga menyebut Yen Mah sebagai “Whiner”, tukang mengeluh, egois, dan sebagainya. Sementara dua anak perempuan Amy Chua
sendiri tak berhenti melontarkan kritik dan pendapat mereka tentang buku yang ditulis oleh Amy dan dengan lugas bertanya, “Apakah Mama hendak menulis kebenaran atau hendak menulis apa yang Mama inginkan semata?”
Kebenaran. Itu adalah kata kunci kedua dalam tulisan jenis Memoir dan yang membedakan antara memoir dengan karya fiksi. Sekalipun interpretasi dan persepsi terhadap momen tertentu itu bisa kita lontarkan dengan bebas menurut sudut pandang kita, namun bukan berarti fakta bisa dirubah. Inilah masalah besar yang menimpa Mortenson. Beberapa saksi mengatakan bahwa apa yang dia tulis adalah dusta; terutama kisah tentang saat dia diculik oleh suku tertentu. Dan Mortenson sendiri membenarkan bahwa terjadi sedikit “penyesuaian” dalam kisahnya, meskipun dia kukuh mengatakan bahwa kejadian penculikan itu adalah benar. Namun nasi sudah menjadi bubur. Pembaca terlanjur merasa dibohongi, dan nampaknya akan sulit bagi Mortenson untuk kembali memperbaiki namanya kecuali jika proses penyelidikan tentang keakuratan fakta dalam memoirnya terjawab dengan kesimpulan bahwa Mortenson tidak mengada-ada. Ini perbedaan besar antara Mortenson dengan Chua atau Yen Mah. Chua dan Yen Mah sampai sekarang tidak mendapat masalah dalam hal kebenaran momen yang mereka tulis. Sementara Mortenson, berurusan dengan orang-orang yang merasa hanya digunakan namanya untuk kepentingan publikasi semata serta berurusan dengan hal yang paling vital dalam sebuah karya memoir: yakni Fakta.
Inilah benang merah yang perlu kita perhatikan. Sebuah tulisan Memoir memuat fakta, bukan dongeng. Karenanya, sebelum memutuskan menulis sebuah memoir atau kisah nyata, pastikan terlebih dahulu bahwa momen yang hendak kita tulis itu benar-benar terjadi, bukan sebuah momen yang tercipta dari daya khayal kita semata.
sumber foto: http://www.springfieldpubliclibrary.com/joomla15/index.php?option=com_content&view=article&id=227
Posted on Mei 24, 2011
0