Bermula dari Kisah tentang Ikan

Posted on Mei 10, 2011

0


Waktu masih kuliah dulu, saya paling suka ngobrol tentang politik, sama seperti kebanyakan mahasiswa lainnya. Saking tergila-gilanya dengan topik yang satu ini, saya kerap kebablasan diskusi dari maghrib sampai subuh.  Apalagi saya sering kebagian jatah mengkoordinir acara diskusi, mengundang narasumber, sampai peran tambahan untuk jadi tukang kompor dan tukang tanya paling bawel.

Saking seringnya pulang subuh, di tas selalu tersedia facial scrub, pasta plus sikat gigi dan bedak. Untuk mengantisipasi kalau tidak sempat pulang ke asrama atau kos-an, saya bisa langsung ke kamar mandi kampus untuk cuci muka dan gosok gigi. Mandi ditunda sampai selesai jam kuliah.

Seiring dengan hobi itu, tumbuh cita-cita untuk terjun ke dunia  politik. Maka jalan ke arah itupun ditempuh; mulai dari membangun network, bergabung dengan organisasi ini-itu, ikut berbagai rapat gelap (maksudnya, rapat yang diadakan malam hari dan kadang diwarnai insiden mati lampu), dan terus-menerus mengasah kemampuan untuk jadi Ratu Tega Berhati Batu; yang tidak bergeming oleh komentar sepedas cabe giling satu ton, tidak lumer oleh kritik sepanas seratus kompor gas yang dinyalakan bersamaan. Bahkan kalau perlu, jitak dan injak orang lain.Jangan pakai hati, begitu prinsipnya.

Diskusi demi diskusi, rapat demi rapat, gebrak meja demi gebrak meja, koneksi demi koneksi…. semuanya terus bertambah. Kegelisahan semakin mengental di udara. Klan Cendana semakin merajalela. Sering terlontar dari mulut saya saat itu, “Kita tunggu saja titik baliknya. Ini tidak akan lama. Negara ini ibarat bola yang diinjak ke dalam air. Makin dalam diinjak, makin cepat bola itu akan terpental ke udara.”

Banyak orang yang mengharapkan detik-detik terjadinya titik balik itu terjadi segera, tidak terkecuali saya. Situasi politik dan ekonomi makin menghimpit, barisan orang-orang yang tidak puas semakin memanjang, harga-harga mulai menanjak, banyak orang kehilangan pekerjaan. Suharto sudah tidak dapat lagi mengendalikan situasi saat itu. Dan orang-orang yang menghendaki perubahan makin menguat posisinya. Suasana benar-benar sumpek.

Dan akhirnya, terjadilah titik balik itu. Suharto runtuh. Barisan orang dimana-mana. Poster Suharto dibakar, dirobek, disoraki, diinjak. Negeri ini serasa berasap, riuh, menyesakkan, panas. Saya menyaksikan semua dengan rasa tak percaya, terpana, tercengang.

Di depan saya, di sebuah gedung putih yang menjulang, beberapa orang naik ke atas genting menggelar poster Suharto berukuran raksasa, kemudian merobeknya tepat di tengah-tengah. Itulah detik-detik yang sukar saya lupakan hingga saat ini. Kain yang terobek pelan-pelan, gemuruh sorak-sorai membahana, debu yang mengepul dari lapangan yang kering. Serasa hati saya ikut jatuh dan pecah berkeping-keping saat itu. Mata saya masih menatap tak percaya: seseorang yang sedemikian kuatnya, sedemikian tak terkalahkannya, dan sedemikian ditakuti di negeri ini, saat itu dirobek-robek gambarnya oleh massa Jatuh, runtuh, lengser.

Di telinga saya mengiang ucapan seorang penggerak titik balik itu: “Ikan membusuk dari kepalanya dulu, bukan dari ekornya. Dan negeri ini busuk, bukan karena rakyatnya, tapi karena pemimpinnya.”

Sungguh, saat itu saya merasa keinginan saya untuk terjun ke politik pupus dan hilang. Politik yang busuk, kekuasaan, dominasi, sungguh ternyata hanya sesuatu yang nisbi dan rapuh. Dan saya melihat sedemikian jelasnya, di depan mata saya sendiri.

Setelah pergantian Orde, saya berharap Indonesia tidak akan mengalami masa titik balik yang menyesakkan seperti itu. Namun kini saya ragu apakah harapan itu bakal terwujud. Di depan mata kini tersaji seekor ikan. Ikan yang membusuk dari kepala.

Ya, ikan itu sudah mati. Wakil rakyat itu sudah mati. Tak mempan dikritik oleh rakyatnya, tak mampu mendengar suara mereka yang diayominya, hanya sibuk mengisi pundi-pundi mereka sendiri, sibuk mengharap tambahan gaji dan fasilitas, sibuk membela diri, dan lupa menjalankan fungsinya terlebih dahulu dengan sempurna.

Ya, mungkin tidak perlu menyarankan pada mereka untuk mengalokasikan anggaran peningkatan kapasitas diri. Karena layaknya ikan mati, mereka tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak bisa membaca. Dan kini saya menunggu dengan hati berdegup, akankah titik balik bertahun silam itu bakal terulang lagi? Atau apakah negeri ini masih bisa diselamatkan sebelum meluncur jatuh semakin dalam?

(daur ulang tulisan lama. Foto diambil dari sumber: http://www.foxnews.com/story/0,2933,305299,00.html)

Ditandai: ,