Bukan jarak yang memisahkan hati, demikian seorang kawan pernah berujar. Mungkin prasangka, mungkin kekhilafan, mungkin keengganan memaafkan. Hati seseorang dengan orang lainnya dapat terpisah ribuan mil jauhnya meskipun mereka berdampingan di tempat yang sama.
Ajaibnya, seringkali tumbuh rasa kebersamaan justru pada saat kita tidak lagi di tempat yang sama. Ketika kita pindah rumah, tetangga-tetangga sukarela membantu. Ketika kita pindah pekerjaan, banyak orang mengucapkan selamat. Ketika kita menelepon dari kota yang berbeda, serasa berbincang dengan orang disebelah kita saja. Ketika orang yang dulu kita abaikan pergi, serasa tumbuh subur menyeruak keinginan melihatnya kembali.
Dan yang putus… ini adalah cerita yang setiap orang tahu tapi tak setiap orang dapat menduga siap atau tidaknya untuk menerima. Kecintaan kepada seseorang, dibarengi dengan keinginan untuk memiliki, seringkali membuat kehilangan itu semakin menyakitkan. Dan kesiapan di lisan untuk menerima konsekuensi itu, seringkali terlambat ditimbang dengan kesiapan hati.
Atau mungkin yang diperlukan hanya mengulang kembali kesederhanaan jiwa kanak-kanak kita? Ketika dulu kita bermain layang-layang, menaikkannya hingga tinggi, lalu tak disangka benangnya putus. Kita akan berlari dengan bersemangat mengejarnya, bersaing dengan angin atau teman yang akan merebutnya. Atau kita membeli lagi yang baru, menaikkannya lagi. Mungkin juga menangis, tapi tak lama. Karena jiwa kanak-kanak lumrahnya tak lama berduka.
Mungkinkah yang diperlukan hanya itu?
(Catatan kecil untuk Sil)
(dari blog lama, 28 Agustus 2005)
Posted on Februari 4, 2011
0