Sejak pohon angsana besar yang menaungi sebagian halaman samping kantor ditebang, pemandangan dari jendela sebelah meja kerja saya menjadi terlalu jelas, termasuk cahaya petir saat hujan lebat, tembok pagar, tanah tak berumput, dan pohon cemara di halaman tetangga. Tapi dulu saya tidak terlalu memperhatikannya, karena keburu jerih dengan cahaya petir saat hujan, maka saya melapisinya dengan kertas coklat.
Tetapi hari ini, mungkin karena terpengaruh rasa antusias akan kembali mengunjungi kota Malang, maka saya membuat lubang-lubang kecil persegi panjang di kertas penutup itu – sekedar cukup untuk melihat pohon cemara itu. Tiba-tiba saja saya merasa rindu menjenguknya.
Dahulu, tempat favorit saya untuk berjalan-jalan sendirian saat senja di Malang adalah sepanjang jalan Jakarta. Ruas jalan itu cukup sepi, dan terasa nyaman, terutama seusai hujan. Aspal basah, aroma rerumputan, aroma tanah – semuanya membuarkan kesan damai dan tenang. Di satu sisi jalan itu dulu berjajar beberapa pohon mahoni – entah, apakah sekarang masih ada atau sudah ditebang. Terlalu banyak pohon ditebang di kota Malang, saya kira. Tak heran jika kesejukannya terus hilang, berganti dengan terik menyengat.
Selain jalan Jakarta, sesekali saya pergi bersama beberapa teman ke daerah Batu – ke Songgoriti, Payung, atau air terjun Coban Rondo. Sebetulnya saya tidak terlalu tahan dengan temperatur daerah itu, yang dengan mudah membuat gigi saya gemeletuk kedinginan – tetapi selalu menyenangkan sekedar kongkow di pinggir jalan, melihat gelap perlahan-lahan menyelimuti kawasan itu, dan memandangi cemara yang mulai digayuti kabut. Dahan-dahannya akan membentuk siluet, dan sepertinya ia bercerita tentang kisah-kisah purba – tentang para pengembara yang melintas datang dan pergi.
Awalnya saya menyukai cemara, karena menyukai aroma daunnya – dan juga kesan romansa yang ditimbulkannya. Tetapi kemudian saya menyukainya, karena keindahannya ternyata wujud dalam diri manusia. Sachiko Murata, dalam bukunya Tao of Islam, dengan sangat elegan menceritakan eksistensi manusia sebagai perwujudan semesta – nadi yang serupa aliran sungai, rambut serupa malam, dan bangun segitiga hati bak sebatang cemara.
Memandang cemara adalah seperti memandang hati. Hati adalah tempat dimana cahaya kemanusiaan diletakkan, dan satu-satunya tempat yang konon membuat Iblis berduka – karena ia tahu, ia tak akan pernah bisa memasukinya.
(dari blog lama, 15 Agustus 2005)
Safrina Dewi
Januari 13, 2012
Masak si Ay, bukannya hati bisa disusupi setan juga??
Julie Nava
Januari 13, 2012
Kalau menurut buku itu, setan hanya bisa meniupkan keraguan tapi tidak bisa menguasai hati, kecuali si empunya hati membiarkannya 🙂 Jadi itu sebabnya, kisah-kisah tentang Hari Akhir menjelaskan bahwa kelak Iblis dan Setan ketika dituntut, mereka menjawab, “aku hanya mengajak kalian, soal apakah kalian menurutiku atau tidak, itu bukan problemku.”
Begitu kira-kira garis besarnya.
Safrina Dewi
Januari 14, 2012
Kalo ‘kesurupan’ itu penjelasannya gimana ya? hehehe…
Julie Nava
Januari 15, 2012
Kalo aku menafsirkan makna “hati yang tidak dapat dimasuki Iblis” itu sebagai fitrah manusia, Nonk. Artinya, selama hati dia masih tetap pada fitrahnya, maka dia akan condong kepada kebaikan dan kemanusiaan. Kalau sudah melenceng, artinya ngikutin bisikan Iblis atau setan. Ini yang menurutku adalah pembeda penting antara manusia dengan makhluk lainnya, dan menjadi sebab kenapa manusia yang diberi amanah untuk jadi khalifah.
Sementara kesurupan, kalau menurutku itu bukan karena hatinya dimasuki setan, tetapi karena raganya diambil alih oleh unsur lain. Orang seperti itu dalam keadaan tidak sadar, jadi bisa dikategorikan “gila sesaat”. Kalo sedang gila, berarti dia tidak dapat dikenai hukum semisal dimasukkan ke neraka atau lainnya. Soalnya itu termasuk di luar kesadaran dia.
Tapi wallahu a’lam juga ya Nonk, aku sendiri nggak segitu ngerti soal-soal kesurupan. Yang aku tahu ya beberapa orang “kesambet” terus bertingkah aneh-aneh dan nggak nyadar kalo mereka seperti itu.