Tentang Kami

Posted on Februari 4, 2011

2


Perkenalan kami bermula pada bulan Oktober 2004, sebelum sepakat berkomunikasi lebih dari sekedar teman pada bulan November 2004. Saya mengenalnya secara online, di sebuah situs dan kemudian berlanjut melalui komunikasi via email dan messenger hampir setiap hari. Boleh dibilang, tidak ada jeda seharipun bagi kami untuk berkomunikasi atau sekedar bertukar foto.

Saat itu kamipun sudah sepakat untuk melanjutkan komunikasi ini ke arah pernikahan, dan herannya, sama sekali tidak ada hambatan psikologis ketika membicarakan hal itu. Padahal secara fisik, kami belum pernah bertemu langsung. Pembicaraan mengenai rencana-rencana menyangkut pernikahan mengalir begitu saja, ringan seperti halnya pembicaraan mengenai kejadian sehari-hari. Bagi saya, ini sebuah surprise karena bahkan dalam “pertemuan nyata” sekalipun, tidak selalu mudah membicarakan tema ini dengan seseorang yang menjadi pasangan kita.

Bulan Maret 2005, saya memutuskan untuk memberitahu secara “resmi” kepada kedua orangtua saya mengenai dia dan mengenai rencana pernikahan kami. Tentu saja, awalnya beliau berdua terperanjat, terlebih karena mereka belum pernah bertemu langsung, dan karena dia berasal dari negara yang berbeda. Tidak pernah terbayang di benak beliau berdua bahwa saya akan menikah dengan seseorang yang berasal dari kultur berbeda, bahasa berbeda, dan tinggal di tempat yang ribuan mil jauhnya dari Indonesia.

Namun saya beruntung, karena kedua orang tua saya telah biasa mempercayakan segala keputusan mengenai apa yang terbaik bagi hidup saya di tangan saya sendiri sejak saya masih kecil. Satu hal yang saya anggap istimewa, karena dalam kultur keluarga yang berbasis Madura dan sedikitnya kultur pesantren, tidaklah terbiasa bagi orangtua meletakkan kepercayaan untuk mengambil keputusan secara penuh bagi anak perempuannya. Mungkin saya keliru, namun sejauh ini yang saya ketahui demikian. Sehingga meski diiringi sedikit was-was, beliau tetap percaya pada keputusan saya. terutama karena Juan juga menunjukkan keseriusannya dengan cara menyetujui “hal-hal kecil” yang baginya tidak terlalu menjadi masalah namun dianggap penting oleh kedua orangtua saya.

4 Juli 2005, saya menunggu kedatangannya di bandara Cengkareng. Dia naik pesawat Korea Airlines, dan transit dulu di Incheon sebelum mendarat ke Jakarta. Dan saat itulah baru saya dihinggapi was-was, bagaimana kalau ternyata dia tidak datang? Bagaimana kalau ternyata saat di Korea dia dideportasi dan kembali ke negaranya? Bagaimana kalau ternyata ada sesuatu terjadi padanya dalam perjalanan?

Hingga lama saya menunggu, hingga jarum jam menunjukkan angka lebih dari 20.45 -jadwal yang seharusnya, hingga satu demi satu para penjemput yang lain meninggalkan bandara, hingga terdengar pengumuman kedatangan pesawat dari Philipina, dia belum muncul juga. Dengan panik yang mulai menggemuruh di dada, setengah berlari saya menuju kantor maskapai penerbangan tersebut untuk menanyakan apakah ada penumpang bernama Juan Manuel Nava Jr dalam penerbangan malam itu.

Namun baru beberapa langkah saya berjalan, seseorang memanggil nama saya dari belakang. Saya menoleh. Dan ya, dia Juan! Dan seketika, airmata langsung membuncah keluar dari mata saya melihat kedatangannya. Saya menangis dalam rengkuhannya, hingga tidak mampu menjawab pertanyaan yang berulang-ulang dia ajukan, “Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu tidak menunggu saya? Kenapa kamu lari?”

Dia terus memeluk saya hingga tangis saya mereda, dan meyakinkan saya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Kemudian saya pandang dia. Saya memandang kedua matanya, dan memandang wajahnya yang terlihat bening dan lembut. Serasa sudah bertahun lamanya kami bertemu, dan serasa kami sudah lama bersama. Dan saya tahu, saya percaya padanya.

8 Juli 2005, kami menikah. Pernikahan yang sederhana saja, namun tetap menyimpan arti mendalam bagi kami. Apakah ini yang disebut jodoh? Mungkin iya, saya tidak tahu pasti. Saya hanya menjalani, dan selainnya ada dalam rahasia Illahi. namun pada akhirnya, saya percaya dan dapat menghayati apa yang senantiasa disebut orang: bahwa hidup, rejeki dan jodoh ada di tangan Tuhan. Bukan kita yang menentukan dimana kita akan menemukannya, atau memahami maknanya, tetapi Tuhan sendiri yang akan menunjukkannya pada kita pada waktu yang paling tepat bagi kita.

(Pernah dimuat di Majalah Alia, ditulis tanggal 24 Juli 2005)