Makna Freedom of Speech yang Saya Pahami di Negara Ini

Posted on September 14, 2012

2


Banyak orang bertanya, “Apakah freedom of speech di Amerika juga berarti boleh menghina dan mencerca keyakinan orang lain?”

Secara logika, seharusnya tidak. Namun pengertian “logika” kadangkala bisa berbeda antara satu tempat dengan lainnya. Antara satu budaya dengan lainnya, termasuk antara satu negara dengan negara berikutnya. Bahkan “logika” antara dua negara dengan populasi muslim yang besar seperti Indonesia dan Malaysia, bisa sangat berbeda. Kita pasti sudah tahu seperti apa pertikaian yang selalu timbul antara dua negara ini.

Secara garis besar, tidak ada yang dianggap sakral di negara ini, termasuk soal agama. Kalaupun ada, mungkin yang sakral di sini hanya soal pajak. Itu sebabnya, bagi mereka yang tinggal cukup lama di Amerika, pasti sudah terbiasa mendengar lelucon tentang agama, nabi, dan segala kritik terhadap agama; baik yang akademis, maupun yang hanya sekedar mencerca. Tidak ada yang melarang mereka beropini, apapun isi opini itu. Karena kebebasan berpendapat, berekspresi, dan memilih, sudah dijamin dalam hukum; bahkan dalam khasanah budaya mereka.

Setidaknya ada tiga kata kunci yang saya amati dalam khasanah budaya di negara ini, yakni: Independent, Articulate, Self-responsibility. Dalam keseharian, orangtua Amerika mengajarkan anaknya untuk bersikap mandiri, bahkan sejak masih bayi, dengan menempatkan mereka pada kamar terpisah. Saat remaja, mereka mulai dilatih untuk mencari uang sendiri dengan bekerja sambilan, dan sedapat mungkin sudah mandiri begitu lepas dari sekolah menengah.

Sewaktu bermain, orangtua cenderung mendorong anaknya untuk melakukan eksplorasi yang mereka sukai, menemukan jalan keluar, dan melatih skill. Anak didorong untuk selalu mengungkapkan pendapat, baik di kelas, di rumah, dan pada siapa saja. Tidak ada larangan untuk mengekspresikan rasa sedih, marah, benci, gembira, suka. Anak dilatih untuk mengetahui apa emosi yang mereka rasakan, dan mengungkapkannya.

Anak juga dilatih untuk mengemban tanggung jawab sendiri terhadap apapun yang mereka pilih tanpa campur tangan orangtua. Soal karir atau menikah, misalnya. Sekalipun orang tua tidak setuju dengan pilihan sang anak, mereka tidak bisa menghalangi si anak untuk memilih jalannya sendiri. Mereka hanya memberi masukan, menyatakan apa yang menjadi kekhawatiran mereka. Soal apakah nanti masukan itu diterima atau tidak, sepenuhnya ada di tangan sang anak.

Konsep seperti itu yang kemudian menghasilkan sebuah masyarakat yang “outspoken”; tidak takut menyatakan pendapat, sekalipun mungkin pendapat itu bersinggungan dengan orang lain. Anak mungkin tampak “kurang ajar” karena mereka bicara terang-terangan pada orangtua mereka, namun itulah konsekuensi pembentukan karakter melalui frame budaya yang seperti ini.

Kembali ke soal batasan freedom of speech. Ini area yang menurut saya bisa jelas batasannya, bisa pula sangat delicate, tergantung pada konteks. Memanggil orang dengan sebutan rasis, misalnya, tidak bisa serta-merta dihukum. Itu harus dilihat dari konteksnya. Tempat, siapa yang diajak bicara, dengan tujuan apa. Menggunakan istilah rasis dalam komedi, sekalipun membuat orang lain panas kupingnya, tidak bisa begitu saja dilarang. Sebab, konteksnya adalah lelucon. Dan orang bisa memilih, mau mendengarkan lelucon itu atau tidak. Yang suka, dengarkan. Yang tidak suka, tutup kuping atau ganti channel.

Begitu pula dengan soal agama. Pemerintah tidak bisa melarang atau menghukum orang yang membuat film bertema agama; sekalipun kualitasnya acakadut. Film adalah media untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. Pemerintah tidak bisa menyensor naskah atau apapun, selagi semua prosedur pengajuan ijin dipenuhi. Pemerintah juga tidak akan melarang orang menonton film ini atau itu, karena ini bukan wewenang mereka. Publik sudah terlatih untuk menyensor pilihan mereka sendiri.

Itu sebabnya, film murahan seperti the Innocence of Muslims, kartun nabi, atau tulisan yang dibuat oleh Salman Rushdie, awalnya tidak menarik perhatian. Barulah ketika kerusuhan timbul, orang menoleh. Itu pun dengan keheranan, mengapa “hanya sebegitu saja” sudah bisa membuat kerusuhan meledak tanpa kendali?

Setelah kejadian beruntun ini, akankah pemerintah Amerika memutuskan untuk melakukan sensor terhadap segala film atau tulisan yang dinilai “menyinggung komunitas muslim”?

I doubt it. Itu tidak akan terjadi. Freedom of speech adalah urat nadi negara ini. Menyensor, melarang, menghambat, apalagi hanya untuk memuaskan keinginan pihak tertentu, tidak dapat diterima. Namun yang jelas, saya yakin publik sudah belajar sejak lama bahwa isu Islam dan Muslim adalah isu yang sangat delicate.

 

******

sumber foto: http://evangelicaloutpost.com/archives/2010/12/free-speech-amazon-and-your-community.html

Posted in: Social & Culture