Saya lebih sering tak percaya pada kesempurnaan yang terlihat di depan mata. Sebab terlalu sering kesempurnaan itu hanya imajinasi atau rekaan semata. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Surga kali ya…– begitu kata teman saya.
Namun nyatanya, dalam kehidupan keseharian, lebih sering kita mencari sosok sempurna. Yang ketika tidak dapat ditemukan, kita merasa kecewa dan merasa dipecundangi.
Begitu juga halnya dengan sosok pahlawan. Lebih banyak dari kita menghendaki sosok pahlawan yang benar-benar sempurna, tidak ada cela, tidak ada kritik, tidak ada kelengahan apapun yang membuatnya turun derajat. Padahal sebenarnya, justru imaji kesempurnaan itu yang membuat sosok seorang pahlawan menjadi tak manusiawi. Menjadi sosok surgawi yang tak menginjak bumi.
Seorang pahlawan bukanlah sosok tanpa cela. Ia sama dengan manusia lainnya; memiliki hidup yang utuh dengan beragam unsur: bahagia, air mata, suka cita, duka, kesetiaan, pengkhianatan, ketabahan, kerapuhan, kekuatan, dan kealpaan.
Berapa banyak dari kita yang bersedia membaca dan menuliskan hidup seorang tokoh yang dikaguminya dengan utuh? Lengkap dengan segala cela dan kelemahannya? Jujur bercerita tentang siapa sang tokoh itu tanpa dibalut kepura-puraan atau ambisi untuk menjadikannya sosok yang sempurna? Bersedia menerima bahwa sang tokoh kemungkinan akan dihujat serta dicaci, selain dipuja dan dikagumi?
Mungkin tidak banyak yang berani mengambil resiko ini, dan kalaupun ada, maka mereka pun harus siap menjalani laku riset yang hasilnya mungkin di luar kehendak mereka. Sama seperti penulis dan peneliti bernama Dark Rain Thom, yang melakukan riset untuk novel sejarahnya tentang Nonhelema, seorang perempuan yang menjadi pemimpin suku Shawnee.
Dark Rain Thom sejak kecil mengagumi sosok Nonhelema, mengagumi kecantikan berbalut keberanian dan ketangguhan. Mengagumi sosoknya yang digambarkan tinggi jenjang seperti pahatan dewata. Nonhelema adalah sosok idola bagi anak-anak perempuan suku Shawnee. Dan ketika mendapat kesempatan untuk menulis novel tentang Nonhelema, Dark Rain tidak menunggu lama untuk segera melakukan riset intensif.
Namun selama riset, Dark Rain Thom justru menemukan banyak hal mengecewakan tentang Nonhelema. Tentang keputusan bodohnya yang mempercayai pendatang kulit putih. Tentang tingkahnya saat mabuk berat. Tentang berbagai keputusannya yang di luar harapan banyak orang.
Suaminya, James Alexander Thom (yang juga sejarawan serta penulis novel sejarah), justru memintanya untuk terus melakukan riset, menyingkap segala sesuatu tentang Nonhelema sekalipun sangat pahit dan sukar dicerna. Seperti yang saya terjemahkan bebas dari buku karya James yang berjudul The Art and Craft of Writing Historical Novel (p.17-18):
_____________________________________________________________________
“Pahlawan macam apa ini? Menjijikkan. Aku bahkan tidak yakin ingin menulis tentangnya!” Demikian Dark Rain Thom mengutuk.
“Kamu pasti sadar bukan, bahwa dengan demikian justru novelmu makin sempurna,” kata James.
Dark Rain tidak suka dengan komentar suaminya. “Kalau begitu, kau saja yang menulis novel ini!”
“Hey, dia pahlawanmu,” James mengingatkan. “Dan itu kontrak menulis yang kau sepakati.”
_____________________________________________________________________
Dark Rain akhirnya meneruskan risetnya, sekalipun banyak hal yang membuat bayangannya semula tentang Nonhelema porak-poranda. Dan James terbukti benar. Semakin lama Dark Rain menggali kehidupan Nonhelema, semakin ia memahami sosok sang pahlawan perempuan itu. Memahami keseluruhan jati dirinya, bukan semata-mata sosok yang hidup dalam legenda.
Begitulah, novel tentang Nonhelema lahir dengan judul Warrior Woman, yang bercerita tentang sosok Nonhelema seutuhnya. Bukan dongeng, bukan legenda, bukan rekaan yang dipaksa demi menyenangkan kelompok tertentu atau ego diri sendiri. Dan Dark Rain, semakin ia mengerti tentang Nonhelema, semakin dia memahami segala aspek dalam kehidupannya sendiri. Aspek sebagai perempuan, budaya aslinya, serta transformasi religiusitasnya.
Kini, beranikah kita menyibak sejarah dengan pena, tanpa keinginan untuk mendiktenya?
Afiani Gobel
Februari 26, 2012
Wah.. buku yang menarik..
Go FLP..!!
Julie Nava
Februari 26, 2012
Novel sejarah karya James Thom dan istrinya, Dark Rain, termasuk kelas bermutu di sini. Keduanya menekuni sejarah, dan untuk menulis satu novel saja mereka melakukan riset sampai setahun lebih. Sampai tahu di sebelah mana seharusnya para prajurit suku Shawnee menyerang pendatang kulit putih saat mereka terlibat perang, yang di film justru diabaikan oleh sang sutradara. Dijamin puas kalo baca novel karya mereka 🙂
Afiani Gobel
Februari 27, 2012
Novelis memang luar biasa ya.. Pernah tau kisah2 novelis yang melakukan hal yang sama sebelum menulis novelnya. *salut*
Sekalian mau ngucapin selamat mbak.. Dah menang lomba blog milad FLP-nya.. 🙂
Moga makin semangat baca dan nulisnya.. ^^
Julie Nava
Februari 27, 2012
Makasih mbak Afiani 🙂 Sama, saya juga salut dengan penulis-penulis yang mau meluangkan waktu untuk melakukan riset sampai sedetil itu.
Pertamakali saya membaca karya James Thom dan istrinya sewaktu beli bundel buku yang dijual murah di perpustakaan kota tempat saya tinggal. Lima novel dijual satu dollar. Novel bekas tentu saja. Tapi lumayan bangettt hehehe….
Nggak nyesel beli bundel itu, karena jadi tahu dengan karya James Thom 🙂
sunarno2010
Februari 28, 2012
riset salah satu kelemahanku
Julie Nava
Februari 28, 2012
Kelemahan banyak orang juga, terutama karena kita tidak terbiasa melakukannya 🙂