Satu Jam Menulis Serentak Milad FLP : Ketika Pena Menyibak Sejarah

Posted on Februari 26, 2012

6


Saya lebih sering tak percaya pada kesempurnaan yang terlihat di depan mata. Sebab terlalu sering kesempurnaan itu hanya imajinasi atau rekaan semata. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Surga kali ya…– begitu kata teman saya.

Namun nyatanya, dalam kehidupan keseharian, lebih sering kita mencari sosok sempurna. Yang ketika tidak dapat ditemukan, kita merasa kecewa dan merasa dipecundangi.

Begitu juga halnya dengan sosok pahlawan. Lebih banyak dari kita menghendaki sosok pahlawan yang benar-benar sempurna, tidak ada cela, tidak ada kritik, tidak ada kelengahan apapun yang membuatnya turun derajat. Padahal sebenarnya, justru imaji kesempurnaan itu yang membuat sosok seorang pahlawan menjadi tak manusiawi. Menjadi sosok surgawi yang tak menginjak bumi.

Seorang pahlawan bukanlah sosok tanpa cela. Ia sama dengan manusia lainnya; memiliki hidup yang utuh dengan beragam unsur: bahagia, air mata, suka cita, duka, kesetiaan, pengkhianatan, ketabahan, kerapuhan, kekuatan, dan kealpaan.

Berapa banyak dari kita yang bersedia membaca dan menuliskan hidup seorang tokoh yang dikaguminya dengan utuh? Lengkap dengan segala cela dan kelemahannya? Jujur bercerita tentang siapa sang tokoh itu tanpa dibalut kepura-puraan atau ambisi untuk menjadikannya sosok yang sempurna? Bersedia menerima bahwa sang tokoh kemungkinan akan dihujat serta dicaci, selain dipuja dan dikagumi?

Mungkin tidak banyak yang berani mengambil resiko ini, dan kalaupun ada, maka mereka pun harus siap menjalani laku riset yang hasilnya mungkin di luar kehendak mereka. Sama seperti penulis dan peneliti bernama Dark Rain Thom, yang melakukan riset untuk novel sejarahnya tentang Nonhelema, seorang perempuan yang menjadi pemimpin suku Shawnee.

Dark Rain Thom sejak kecil mengagumi sosok Nonhelema, mengagumi kecantikan berbalut keberanian dan ketangguhan. Mengagumi sosoknya yang digambarkan tinggi jenjang seperti pahatan dewata. Nonhelema adalah sosok idola bagi anak-anak perempuan suku Shawnee. Dan ketika mendapat kesempatan untuk menulis novel tentang Nonhelema, Dark Rain tidak menunggu lama untuk segera melakukan riset intensif.

Namun selama riset, Dark Rain Thom justru menemukan banyak hal mengecewakan tentang Nonhelema. Tentang keputusan bodohnya yang mempercayai pendatang kulit putih. Tentang tingkahnya saat mabuk berat. Tentang berbagai keputusannya yang di luar harapan banyak orang.

Suaminya, James Alexander Thom (yang juga sejarawan serta penulis novel sejarah), justru memintanya untuk terus melakukan riset, menyingkap segala sesuatu tentang Nonhelema sekalipun sangat pahit dan sukar dicerna. Seperti yang saya terjemahkan bebas dari buku karya James yang berjudul The Art and Craft of Writing Historical Novel (p.17-18):

_____________________________________________________________________

“Pahlawan macam apa ini? Menjijikkan. Aku bahkan tidak yakin ingin menulis tentangnya!” Demikian Dark Rain Thom mengutuk.

“Kamu pasti sadar bukan, bahwa dengan demikian justru novelmu makin sempurna,” kata James.

Dark Rain tidak suka dengan komentar suaminya. “Kalau begitu, kau saja yang menulis novel ini!”

“Hey, dia pahlawanmu,” James mengingatkan. “Dan itu kontrak menulis yang kau sepakati.”

_____________________________________________________________________

Dark Rain akhirnya meneruskan risetnya, sekalipun banyak hal yang membuat bayangannya semula tentang Nonhelema porak-poranda. Dan James terbukti benar. Semakin lama Dark Rain menggali kehidupan Nonhelema, semakin ia memahami sosok sang pahlawan perempuan itu. Memahami keseluruhan jati dirinya, bukan semata-mata sosok yang hidup dalam legenda.

Begitulah, novel tentang Nonhelema lahir dengan judul Warrior Woman, yang bercerita tentang sosok Nonhelema seutuhnya. Bukan dongeng, bukan legenda, bukan rekaan yang dipaksa demi menyenangkan kelompok tertentu atau ego diri sendiri. Dan Dark Rain, semakin ia mengerti tentang Nonhelema, semakin dia memahami segala aspek dalam kehidupannya sendiri. Aspek sebagai perempuan, budaya aslinya, serta transformasi religiusitasnya.

Kini, beranikah kita menyibak sejarah dengan pena, tanpa keinginan untuk mendiktenya?