Memori & Bagaimana Kita Memaknainya

Posted on September 7, 2025

0


Photo by Dan Draper on Unsplash

Guru spiritual saya punya satu keahlian khusus, yakni menghapus atau memutus aliran emosi dalam memori seseorang. Saya menyebutnya dengan istilah “ngepel otak”, karena memang seperti itu rasanya. Pada saat-saat tertentu, saya merasa emosi saya terhadap peristiwa tertentu tiba-tiba hilang begitu saja. Padahal belum lama saya mengalami peristiwa tersebut. Normalnya, orang butuh waktu sedikit lebih lama untuk mencerna sebuah peristiwa dan deal dengan emosinya sendiri, sebelum kemudian bisa memutuskan untuk melupakan. Namun kadang saya mengalami percepatan, karena dia langsung menghapusnya. Rasanya kayak di film-film sci-fi, di mana aliens menggunakan alat penghapus memori untuk membuat orang lupa pernah bertemu dengan mereka. Untungnya, saya penulis dan terbiasa mendokumentasikan momen penting dalam jurnal sehingga saya tidak kehilangan jejak, kecuali jika catatan tersebut hilang.

Saya mengalami hal itu lagi ketika deal dengan rasa kecewa dan sakit hati terhadap seseorang yang pernah dekat dengan saya. Tiba-tiba saja saya merasa hepi kembali, seperti tidak pernah terjadi apa-apa, dan begitu ingin mengontak orang tersebut. Ketika saya tanyakan padanya apakah ia menghapus memori duka saya tentang orang tersebut, ia mengangguk dan menjawab, “Nah, sekarang kamu bisa melanjutkan komunikasi lagi dengannya, dan bersahabat kembali seperti semula. To forgive is to forget, right? Bisa melupakan sesuatu itu sebenarnya adalah anugerah. Manusia diberi lupa, supaya beban hatinya tidak terlalu berat.”

No,” kata saya. “Tolong kembalikan memori itu kepada saya, karena saya membutuhkannya.”

Tidak semua proses memaafkan harus diiringi dengan melupakan. Adakalanya kita butuh menyimpan secuil memori duka tersebut sebagai lessons learned, atau pelajaran hidup, yang bisa kita gunakan untuk membangun relasi yang lebih baik dengan diri sendiri. Contohnya, dalam hal menetapkan batas.

Saya menggunakan perumpamaan tentang ular kepada guru spiritual saya. Memori tentang ular adalah salah satu memori paling purba pada ingatan kolektif manusia. Konon, itu sudah dimulai sejak masa Nabi Adam, di mana ia mengalami trauma dan terlempar dari Surga setelah berurusan dengan iblis yang menyamar dalam bentuk ular. Trauma itu kemudian abadi dalam sel-sel keturunannya, sehingga rasa takut, jijik, atau tidak nyaman terhadap ular bersemayam dalam bawah sadar manusia. Ingatan negatif terhadap ular tersebut akhirnya menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri manusia, yang berfungsi sebagai alarm pencegah marabahaya.

Dalam konteks hubungan interpersonal, kita tahu bahwa tidak semua hubungan dengan orang lain perlu dipertahankan. Banyak orang memaksakan diri untuk melanjutkan hubungan hanya karena rasa tidak enak hati, rasa bersalah, atau tidak mau dicap memutus silaturrahmi. Padahal mereka tahu persis bahwa hubungan tersebut sangat toksik. Akibatnya, penderitaan mereka berlarut-larut. Sebagian dari energi mereka terbuang sia-sia demi mempertahankan sebuah hubungan yang tidak sehat, yang akhirnya mengundang lebih banyak permasalahan, yang seharusnya itu bisa diselesaikan hanya dengan cara memutus hubungan toksik itu.

“Kan goblok namanya, kalau abis dipatuk ular, trus kita memaafkan ular tersebut dan mempersilahkannya kembali masuk rumah kita dengan alasan to forgive is to forget,” ujar saya.

“Jadi yang kamu inginkan sekarang gimana?” tanya guru saya.

Don’t make me forget. Make me understand,” ujar saya. “Bantu saya untuk mengerti dan memahami sebuah peristiwa, dan memutuskan yang terbaik.”

Esok harinya, saya kebanjiran memori buruk tentang seseorang itu lagi. Saya jadi tertawa. Hah, rupanya benar, guru saya mengembalikan itu semua. Sekarang, giliran saya untuk mencerna kembali dan memilah langkah selanjutnya yang lebih baik.

Menempuh perjalanan untuk mengerti tentang makna sebuah peristiwa, sekaligus menyetel emosi kita terhadapnya, adalah privilege tersendiri. Saya bisa saja meminta bantuan guru saya untuk mempercepat prosesnya, namun akan lebih bagus jika saya bisa membangun keahlian memanajemen memori serta emosi. Memang tidak selalu mudah, namun sekali kita memiliki keahlian untuk mengatur aliran emosi dan menggunakan perspektif baru, we will be okay. Semua akan baik-baik saja. Kita tidak perlu menyimpan dendam atau amarah, juga tidak perlu berlarut-larut dalam duka-cita. Kita bisa memaafkan, sekaligus bisa menentukan pilihan, apakah akan melanjutkan sebuah hubungan interpersonal atau menyudahinya saja. Dan satu lagi, memori itu bisa menjadi bahan tulisan yang seru, hehehe…

Memilih yang terbaik untuk diri kita dan demi kebaikan yang lebih besar di masa mendatang bukanlah dosa. Saya merasakannya sendiri. Setelah memutuskan untuk menyudahi, hidup saya terasa jauh lebih ringan. Energi lebih besar, pikiran lebih tenang, dan saya bisa konsentrasi terhadap hal-hal lain yang lebih penting. Ya, tidak ada lagi kebocoran energi Sebab, saya sudah memutuskan untuk hanya menginvestasikan perhatian, cinta, dan waktu untuk orang-orang yang memang memilih untuk bersama saya. Bukan dengan yang pura-pura berteman, juga bukan dengan para penikam dari belakang.

*****