Yang Baru Saya Ketahui tentang Agatha Christie

Posted on Agustus 15, 2011

6


Seumur hidup belum pernah saya membaca novel Agatha Christie. Penyebabnya simple, karena saya penakut. Novel berbau kriminal, yang berdarah-darah, beraroma hantu dan sejenisnya sebisa mungkin saya jauhi kalau tidak ingin mendapat mimpi buruk. Tapi hari ini semuanya berubah setelah saya membaca artikel dari Dr. John Yeoman, MA tentang sisi lain dalam novel-novelnya.

Yeoman mengatakan bahwa novel Christie bukan semata-mata soal kriminal, tetapi adalah perang antar kasta, antar kelas sosial! Karakter-karakter dalam novelnya dengan jelas menggambarkan bagaimana struktur sosial di masyarakat saat Christie menuliskannya, dan masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Saya terjemahkan sebagian dari tulisan Yeoman yang mungkin berguna untuk dipelajari, terutama saat mencari inspirasi tentang karakter dalam tulisan fiksi kita.

Yeoman menjabarkan beberapa karakter dalam novel Christie ke dalam tiga bagian:

1. Kelas/Kasta Bawah. Yang termasuk dalam kelas ini adalah Si Pelayan Setia (terkadang diperlakukan dengan baik, dianggap sebagai bagian dari keluarga, tidak akan mencelakai majikannya, tapi mungkin akan melindungi si pembunuh jika kebetulan pembunuh tersebut adalah anak dari majikannya sendiri). Si Miskin yang Berhati Baik (sering dituduh sebagai pembunuh majikannya, dan pada akhirnya diberi ganjaran dengan “diperkenankan menikahi seseorang dari kelas menengah ke bawah). Bajingan dan Tuna Susila (selalu menggunakan aksen tertentu dan dengan kosakata yang kacau, gemar mengecam orang-orang dari kelas menengah), Pekerja yang Jujur (Tukang pos, sopir taksi, tukang, dan pekerja kasar lainnya termasuk dalam kategori ini. Terkadang mereka muncul dalam alur cerita, namun keberadaannya tidak terlalu penting).

2. Kasta Menengah. Yang termasuk dalam kelas ini adalah Menengah ke Bawah (pegawai rendahan, juru tulis, pengasuh anak, penjaga toko, termasuk dalam kategori ini. mereka sering dijadikan tersangka pelaku kejahatan dan dijadikan kambing hitam oleh majikannya). Menengah (pastur, guru, manajer bank kecil. Karakter yang sering tampil membosankan, tetapi justru seringkali menjadi pelaku kriminal yang sesungguhnya). Menengah ke Atas (perwira militer senior, akuntan, pengacara, professor. Mereka juga sering tampil sebagai pelaku kriminal yang asli).

3. Kasta Atas. Golongan aristokrat dan anggota keluarga kerajaan, termasuk dalam kelompok ini. Mereka biasanya digambarkan sebagai karakter yang santun (termasuk kepada bawahan mereka), berpendidikan, dan sangat memperhatikan penggunaan kosakata yang benar (yang sebenarnya untuk memperjelas status sosial mereka sekaligus membuat pemilik status sosial lainnya tetap dalam posisi inferior atau “bukan level mereka”. Namun golongan aristokrat dari negara lain (non-British) juga digambarkan sebagai inferior alias bukan kasta atas yang sebenarnya (yang ini, saya melihatnya sebagai “keangkuhan khas” Anglo-Saxon).

Konflik antar kelas dalam novel Christie menjadi kaya karena dia memasukkan unsur-unsur prasangka rasial dan xenophobia. Terutama orang Yahudi, kulit hitam, dan yang berdarah Asia, menjadi obyek utama prasangka dan kecenderungan xenophobia dalam novelnya. Mereka dipandang sebagai “kawan baik, orang baik, tetapi mereka tetap bukan bagian dari kita.” (sangat khas, bukan? Dan masih terbilang relevan hingga saat ini dimana prasangka rasial dan xenophobia masih bersemayam diam-diam dimanapun kita berada.)

Inilah sebagian dari cuplikan tulisan Yeoman. Untuk tema transgresi sosial dalam novel Christie, ada baiknya membaca langsung artikel asli Yeoman ditambah dengan membaca beberapa buku Agatha Christie untuk membandingkannya.

picture copied from: http://coastalbreezehouse.com/twilight-agatha-christie-biography/

Ditandai: ,